Sabtu pekan lalu saya ditugasi istri ke supermarket, antara lain membeli camilan dalam kaleng kecil untuk tetamu kecil. Karena di Indomaret dan Alfamart kurang lengkap, saya pun ke Superindo. Mencari roti blèk, istilah orang tua Jawa zaman dulu.
“Kue kalengan udah habis sebelum Lebaran, Pak,” kata Mbak Pramuniaga.
Oh, berarti biskuit kalengan yang selalu ditata khusus di minimarket dan supermarket memang termasuk dalam daftar belanjaan wajib menjelang Lebaran.
Saya beberapa kali membuat pos soal biskuit kalengan menjelang Lebaran, namun baru sekarang membuktikan bahwa itu produk laris. Saya ingat, di Mayestik, Jaksel, dulu ada toko Khong Guan Biscuits (KGB). Setiap menjelang Lebaran, toko itu selalu disesaki pembeli.
Nah, Sabtu lalu itu saya masih beroleh kue bukan dalam kaleng melainkan karton dan kantong. Salah satunya sekantong wafer cokelat Nissin isi 18, harga sekitar Rp20.000. Karena tetamu kecil urung datang, baru tadi pagi wafer itu saya buka, untuk menemani minum teh. Seperti biasa saya sambil melamun.
Sejak kecil saya suka wafer. Bukan karena cedal, saya dulu juga menyebutnya wafel karena tak dapat membedakan wafer dan waffle, sampai kemudian ibu saya mengoreksi.
Tentu wafer dalam kaleng assorted biscuits kaleng KGB adalah incaran saya karena cuma beberapa. Namun sebelum akrab dengan wafer KGB, saya akrab dengan wafer ketengan rasa sekadarnya, yang terbungkus plastik, dan di dalamnya terselip sekeping mainan atom atau prik-prikan berupa wayang dan tank atau truk dengan cetakan kasar.
Begitu kasarnya moulding atau pengacuan sehingga ada keping yang sulit diletakkan berdiri. Atom harus digosokkan ke lantai semen kasar untuk mengampelasnya.
Setiap generasi memiliki kenangan masing-masing. Saya generasi lawas, ketika Chiki muncul, demikian pula Anak Mas, saya sudah kuliah. Kue kering mewah saya kenal saat SD, kalengnya bagus. Misalnya dari parsel Natal Kompas, untuk bapak saya, ada yang biskuit impor bergambar reproduksi lukisan Rembrandt, Penjaga Malam.
Lain waktu ada pula kaleng dengan lukisan Van Gogh, Bunga Matahari, semuanya bukan berupa stiker. Kaleng-kaleng bagus itu saya jadikan wadah mainan, termasuk menyimpan koleksi prangko.
Dulu pada masa bocah, saya jarang menjumpai hidangan Lebaran berupa buah. Mungkin karena buah impor dan buah lokal di toko belum sebanyak sekarang. Pekan lalu di toko buah yang itu, anggur tinggal sisa, demikian pula jeruk kecil tanpa biji, kecuali pembeli butuh yang satu boks besar.
Namun ada yang sama dari masa ke masa dalam suguhan Lebaran: minuman sirop. Wedang setrup, kata orang Jawa zaman dulu. Kalau tuan rumah tak punya kulkas, dulu ada dua opsi. Minuman manis dengan air biasa, bahkan setrup pun dengan air hangat, atau salah satu anak harus membeli es batu ke warung.
Jika Anda lebih muda dari saya pasti membatin, “Susah amat zaman dulu.” Hmmm… dulu kami tak merasa susah karena banyak temannya. Orang lain juga mengalami. Lagi pula tak ada pilihan lain, termasuk berjalan kaki jauh ke sekolah.
Kelak, pada 2045, saat seabad Indonesia merdeka, apa pun yang kita rasakan mudah hari ini mungkin juga akan dianggap masa susah oleh anak-anak zaman nanti. Tentu dengan catatan kalau Indonesia baik-baik saja sejak sekarang.
4 Comments
saya kemarin ke Indomaret dan sudah melihat kembali kleng biskuit Khong Guan, paman..
tapi mungkin karena momen lebaran dah lewat, ya..
Bisa jadi. Pokoknya KGB itu the living legend
Semoga Indonesia baik-baik saja, karena banyak teman senasib yg mau diajak kerja sama :’))
Btw, Anak Mas enak banget ituuu :))
Anak Mas dan Mie Gelas.
Dulu sejawat saya, lebih tua, kalo sore makan itu. Saya anggap dia kayak anak kecil.
Ternyata itu perintah dokter eh ahli gizi. Dia diabetisi.
Kadang saya dia makan ubi, saya minta nggak boleh. Akhirnya saya tahu kalo saya minta satu, kadar gula darahnya turun