Oh, kursi wasit badminton itu masih ada. Demikian saya membatin suatu pagi, pekan lalu, setelah Lebaran. Saya pertama kali memotret kursi di pinggir kali ini pada 2014. Ya, sebelas tahun silam. Posisi kursi hingga kini tak berubah.
Bagi saya hal ini menarik, karena bisa ditilik dari sejumlah hal, antara lain:
- Manusia selalu berupa menyiasati ruang
- Setelah seruas jalan lebar di dekat tikungan itu untuk lapangan badminton, padahal garis bidang tidak boleh berupa trapesium, maka sisa untuk kursi wasit tak mencukupi
- Untuk mendirikan kursi wasit harus melompati pagar tanggul
Soal lain? Keterbatasan fasilitas olahraga di sebuah perumahan bisa mendorong warga memanfaatkan jalan. Yang lumrah adalah anak-anak bermain sepak bola dan badminton tanpa garis, tanpa net.
di dekat apartemen saya, ada satu ruas jalan yang diberi tanda yang paman maksud, anak kecil bermain bola. sepertinya ini rambu standar di Jerman. kalo keluar wilayah juga ditandai dengan rambu dicoret. pic.twitter.com/P4OGH2IUO5
— Muhammad Zamroni (@matriphe) March 28, 2020
Di Jerman saya malah pernah melihat rambu lalu lintas agar pengendara berhati-hati karena di sebuah ruas jalan banyak anak bermain bola.
Akan tetapi itu tadi lapangan temporer. Serupa ring basket di perempatan. Kalau lapangan badminton dengan garis sesuai aturan, kesannya resmi padahal itu jalan umum. Memang sih ada jawaban untuk itu: berdasarkan kesepakatan warga.
Masalah ruang dan tata ruang. Ada di mana pun termasuk dalam lingkup domestik, yaitu di rumah kita.
2 Comments
Niat juga yak, bikin lapangan di perumahan pakai kursi wasit. Apa kursinya pernah dipakai, Bang Paman?
Nah apakah pernah dipake saya ndak tahu. Mungkin pas musim lomba Agustusan