Lelucon yang saya dengar 13 tahun lalu itu masih dan makin berlaku: kok masih ada sebutan mainstream media? Yang disebut media arus utama itu ya media sosial (medsos). Orang ingin tahu kabar teranyar dari medsos.
Lalu dalam perkembangannya, media terlembagakan mengamplifikasi konten medsos, sering kali tanpa pengayaan (¬ lihat arsip: Berita keperjakaan).
Memanfaatkan sumber info terbuka lebih hemat daripada menugasi reporter. Bahkan hasilnya dalam rupa video diunggahkan ke YouTube. Dalam rentang waktu yang sama, akun-akun perorangan juga mengolah bahan serupa menjadi konten di TikTok.
Lalu? Media terlembagakan makin meniru medsos. Persoalannya adalah konten ringkas. Cara Kompas.com meringkas informasi sebagai salindia (slides) di situs dan aplikasinya, seperti siaran TV dan radio namun sepotong demi sepotong, itu meniru cara X dan Instagram. Di X, Narasi Newsroom sudah lama bermain salindia.
— Narasi Newsroom (@NarasiNewsroom) January 3, 2025
Ketika media berita dalam laman web dan aplikasi membuat laporan langsung suatu peristiwa, hal itu meniru live-tweets. Ringkas, unsur 5W+1H, terutama waktu, sudah ada dalam teraan waktu (time stamp).
Karena tanpa dukungan data, saya mengandaikan menaruh konten dalam bentuk apa pun di pelantar terbuka akan lebih menjangkau lebih banyak orang. Itu sebabnya PKL ogah dilokalisir di area sepi. Apakah akan mendongkrak trafik situs, itu soal lain. Yang penting perawatan jenama media terlembagakan terjaga terus.
Bermain video, salindia, infografik, serta konten interaktif di situs dan pelantar sendiri hanya cocok untuk media kuat, misalnya Kompas.id dan Tempo.co. Tetapi mereka pun akhirnya harus bermain di medsos. Bocor Alus milik Tempo di X dan Spotify adalah cara kreatif: membocorkan hasil reportase dalam majalah. Citra jenama terjaga, tetap melekat dalam benak khalayak.
Kembali ke konten ringkas, cara memainkan utas di X bisa dimanfaatkan. Beberapa akun di X membuat utas suatu topik, dengan menyebutkan rujukan. Ada yang memang ingin berbagi, memanfaatkan pelantar X sebagai mikroblog.
Marsda Halim Perdanakusuma
Abdul Halim Perdanakusuma dilahirkan di Sampang Madura pada tanggal 18 November 1922. Ayahnya bernama Haji Abdulgani Wongsotaruno, Ibunya bernama Raden Ayu Aisah, putri Raden Ngabeki Notosubroto, Wedana Gresik, Jawa Timur. Abdul Halim Perdanakusuma… pic.twitter.com/WTymOuncnw— Yusuf Ikrom (@yosefikr) January 2, 2025
Memang ada yang entah main salin tempel dari mana karena gaya bahasanya tak konsisten, lalu utasnya diselingi konten yang terafiliasi ke lokapasar. Tak soal, itu soal selera. Tak beda zaman SEO topi hitam di blogosfer dahulu, namun pemiliknya tak ingin dikenal sebagai bloger, dengan maupun tanpa nama samaran. Tak ada niat meningkatkan kemampuan menulis pula.
Lalu media berita terlembagakan akan ke mana? Hanya media adaptif, bukan yang terbesar dan terkuat pada masanya, yang bisa bertahan. Darwinian memang.
- Jurnalisme mau ke mana? | Berita yang tak dibaca sampai rampung karena pembaca sudah paham itu cara kuno.
- Kompas.id pun mbulet | Tak hanya ber-“begini” dalam judul, inti kabar di paragraf keenam dalam berita berisi sepuluh paragraf.
- Jangankan bayar, berita gratis saja enggan baca | Tentu, obrolan di medsos lebih diakses ketimbang media berita. Mestinya media yang membayar pembaca.