Slides dan peretelan info sebagai bentuk adaptasi

Hanya organisme adaptif, bukan yang terbesar dan terkuat pada masanya, yang bisa bertahan.

▒ Lama baca 2 menit

Slide story: mubazir bungkus koper - Kompas.com — Blogombal.com

Lelucon yang saya dengar 13 tahun lalu itu masih dan makin berlaku: kok masih ada sebutan mainstream media? Yang disebut media arus utama itu ya media sosial (medsos). Orang ingin tahu kabar teranyar dari medsos.

Lalu dalam perkembangannya, media terlembagakan mengamplifikasi konten medsos, sering kali tanpa pengayaan (¬ lihat arsip: Berita keperjakaan).

Memanfaatkan sumber info terbuka lebih hemat daripada menugasi reporter. Bahkan hasilnya dalam rupa video diunggahkan ke YouTube. Dalam rentang waktu yang sama, akun-akun perorangan juga mengolah bahan serupa menjadi konten di TikTok.

Slide story: mubazir bungkus koper - Kompas.com — Blogombal.com

Lalu? Media terlembagakan makin meniru medsos. Persoalannya adalah konten ringkas. Cara Kompas.com meringkas informasi sebagai salindia (slides) di situs dan aplikasinya, seperti siaran TV dan radio namun sepotong demi sepotong, itu meniru cara X dan Instagram. Di X, Narasi Newsroom sudah lama bermain salindia.

Ketika media berita dalam laman web dan aplikasi membuat laporan langsung suatu peristiwa, hal itu meniru live-tweets. Ringkas, unsur 5W+1H, terutama waktu, sudah ada dalam teraan waktu (time stamp).

Karena tanpa dukungan data, saya mengandaikan menaruh konten dalam bentuk apa pun di pelantar terbuka akan lebih menjangkau lebih banyak orang. Itu sebabnya PKL ogah dilokalisir di area sepi. Apakah akan mendongkrak trafik situs, itu soal lain. Yang penting perawatan jenama media terlembagakan terjaga terus.

Repola reportase Kompas.id — Blogombal.com

Bermain video, salindia, infografik, serta konten interaktif di situs dan pelantar sendiri hanya cocok untuk media kuat, misalnya Kompas.id dan Tempo.co. Tetapi mereka pun akhirnya harus bermain di medsos. Bocor Alus milik Tempo di X dan Spotify adalah cara kreatif: membocorkan hasil reportase dalam majalah. Citra jenama terjaga, tetap melekat dalam benak khalayak.

Kembali ke konten ringkas, cara memainkan utas di X bisa dimanfaatkan. Beberapa akun di X membuat utas suatu topik, dengan menyebutkan rujukan. Ada yang memang ingin berbagi, memanfaatkan pelantar X sebagai mikroblog.

Memang ada yang entah main salin tempel dari mana karena gaya bahasanya tak konsisten, lalu utasnya diselingi konten yang terafiliasi ke lokapasar. Tak soal, itu soal selera. Tak beda zaman SEO topi hitam di blogosfer dahulu, namun pemiliknya tak ingin dikenal sebagai bloger, dengan maupun tanpa nama samaran. Tak ada niat meningkatkan kemampuan menulis pula.


A post shared by KRITIS, INFORMATIF, EDUKATIF (@undercover.id)

Lalu media berita terlembagakan akan ke mana? Hanya media adaptif, bukan yang terbesar dan terkuat pada masanya, yang bisa bertahan. Darwinian memang.

Tinggalkan Balasan