Di luar isi liputan investigatif Kompas yang bagus, perihal rokok ilegal, ada dua hal yang menarik. Pertama: berupa disklaimer bahwa liputan dibiayai sendiri dan tak mempromosikan rokok legal maupun ilegal.
Kedua: salah satu 15 laporan Kompas itu adalah tentang bungkus rokok ilegal di mana-mana, lalu peliput memotret bungkus yang dipungut di jalan. Seni memulung adalah bagian dari pekerjaan jurnalistik dan keisengan dalam ngeblog.
Soal pertama itu penting karena kemandirian praktik jurnalistik perlu biaya. Padahal, seperti saya sebut kemarin, tak semua media memiliki kemampuan ekonomi untuk meliput secara mendalam di lapangan.
Jangankan liputan lapangan yang memperpendek usia sepatu. Liputan di dalam ruang pun tak semua media dapat melakukan dengan leluasa terutama jika menyangkut informasi berbayar dalam kertas (buku, arsip koran dan majalah) maupun layar digital (layanan premium).
Kalau di kantor redaksi tak ada rak buku, padahal mendatangi beberapa perpustakaan di Jakarta memakan waktu, tenaga, dan ongkos, sementara pembaca berita tak mau menunggu, tentu tetap ada opsi praktis: melihat info gratis di internet untuk dirujuk dan di kutip. Pekerjaan itu sebenarnya dapat dilakukan oleh robot.
Maka ketika ada, misalnya, seorang tokoh meninggal, isi obituarium sejumlah media hampir sama karena merujuk bahan gratis yang sama — termasuk bahan gratis di media lain yang mengutip buku dan konten premium. Padahal pembaca sudah mendapatkan rangkuman info dari layanan AI. Yang menjadi pembeda hanya pernyataan sejumlah narasumber untuk mengenang almarhum (¬ lihat lelucon dalam arsip: Catatan kaki pun menyontek).
Baiklah, lalu apa hal penting dari laporan Kompas itu?
- Dalam harga sebungkus rokok, komponen pungutan oleh negara sampai 68 persen, dan cukai adalah bagian dari itu
- Misalnya sebungkus rokok legal berharga Rp10.000, yang Rp6.800 masuk ke kas negara — namun produsen rokok ilegal tak berurusan dengan pungutan
- Keuntungan produsen rokok ilegal mencapai Rp1 miliar per bulan, jika merujuk distributor di Ende, NTT, yang saban bulan mendatangkan 500 karton rokok (2.000 bal, atau 400.000 bungkus) dari Jepara
- Bea Cukai (BC) selalu kerepotan menghadapi rokok ilegal, sejak penggerebekan sampai razia yang diikuti penyitaan
- Produsen rokok ilegal memanfaatkan masyarakat perkampungan sebagai benteng dengan menjadikan mereka sebagai pengemas rokok di rumah masing-masing, misalnya di Jepara (Jateng) dan Pamekasan, Madura (Jatim)
- Bagi warga pengemas rokok ilegal, yang beroleh upah Rp40.000 per bal (200 bungkus, sepuluh slof) penggerebekan BC ke sarang produsen adalah ancaman bagi ekonomi warga sehingga mereka akan melawan
- Mesin pelinting rokok mudah didapat karena tidak ada regulasi yang mengaturnya, Kemenkeu menunggu Kemenperin untuk menata impor mesin
Kalau soal cukai ilegal, dari yang palsu sampai asli namun sengaja salah tempel, demikian pula ihwal informasi dalam bungkus rokok, blog ini pernah membahasnya. Adapun soal kecerdikan pembuat dan penjual rokok ilegal, yeahhh gitu deh. Semua perokok tahu cara mendapatkan sigaret ilegal.
Tentu ada rokok dengan cukai 0 persen namun legal karena tak berbahan tembakau yang mengandung nikotin (¬ arsip: beberapa merek rokok daun talas).
Adakah yang lucu dalam merek rokok, legal maupun ilegal? Ada. Misalnya Tolak Miskin dan Mbois, kemudian LOSSDDD Ra Rewel,
Ada juga merek yang serius secara simbolis yakni Getzemani. Seiring meningkatnya rokok tingwé, ada kertas sigaret bermerek Danmil. Bukan agar berkesan komandan militer melainkan supaya mirip Dunhill. Kiat merokok hemat sila baca tip.
Eh, lantas apa sih hukuman untuk pemain rokok ilegal? Cuma didenda, barang disita. Pekan lalu di Bandar Lampung, Lampung, tiga orang pemilik agen rokok ilegal dibebaskan oleh pengadilan setelah membayar denda Rp150 juta (¬ Detik). Nilai denda itu tiga kali kerugian negara. Setelah lunas ya bebas. Kalau tidak, ya dikurung.
¬ Infografik: Kompas