Bahasa Indonesia bisa menyerap kata Inggris “ageism” (éi-jéz-sêm) menjadi “ageisme” yang dibaca sesuai yang tertulis: a-ge-is-mê.
Ageisme dalam KBBI ditandai sebagai istilah dalam psikologi, berarti “prasangka terhadap individu atau kelompok berdasarkan usianya”.
Saya jumpai istilah yang jarang dipakai oleh media berita itu dalam artikel M. Hanif Dakhiri, Menteri Ketenagakerjaan selama 2014—2019, di Kompas hari ini (3/9/2024). Namun di sini saya tak membahas isi artikel tersebut.
Dalam bahasa Inggris, istilah ageism pun baru muncul pada 1969. Belum dapat disebut istilah klasik.
Secara sepintas saya cari media berita mana saja, yang memuat ageisme. Temuan sementara ada di Narasi (2023), Antara (2024), Kumparan (2023, konten dari pengguna), dan Solopos (2023).
Apakah istilah ageisme akan cepat menyebar? Saya tak tahu. Kalau dulu, sebuah istilah yang (dianggap) baru akan menyebar setelah media berita, termasuk TV, menyebutkannya.
Kini tentu saja kita tergantung media sosial. Bukankah kata healing dan flexing cepat sekali menyebarnya? Bahasa media berita juga merujuk bahasa di medsos, saling melengkapi meskipun kadang salah. Misalnya kata “lansir” dan “prosesi“.
Penularan istilah di medsos bisa cepat karena penerapan kata menemukan konteks berupa peristiwa atau tren gaya hidup yang disimak banyak orang. Lebih dari itu: istilah mudah diucapkan dan diingat, serta tak membuat malu penuturnya, bahkan kalau seseorang tak tahu istilah tersebut akan dianggap ketinggalan zaman.
Maka jangan menyebutkan kata yang membuat pusing, karena berjarak, misalnya “hermeneutika”. Kalau “simulakra” sih masih mendingan karena mudah diucapkan dan enak di telinga, apa pun pemahaman kita terhadap istilah tersebut.
Untuk istilah dalam bahasa Indonesia, kalau tidak seksi, kurang menarik, atau kurang lucu, pengucapan oleh seorang penutur berpeluang mengundang respons, “Elu ngomong apa sih?” Misalnya kata “tepermanai”.
Saya teringat film abad lalu, Philadelphia (Jonathan Demme, 1993). Ada adegan di kantor pengacara, seseorang berpamitan kepada sejawatnya dengan menyebut sebuah kata. Kawannya bertanya apa artinya. Sang pengucap menjawab, “Lihat Webster.”
Di sini kalau Anda melucu dengan cara serupa — “Liat KBBI, dong” — akan dianggap katro, garing, sekaligus sok terpelajar.