Persoalan babe, si baju bekas

Kita tak mungkin menyederhanakan diri, punya pakaian seperlunya, hanya ganti kalau sudah rusak. Tapi itu sumber masalah.

β–’ Lama baca < 1 menit

Sore itu saya melewati kios kecil di pinggir Jalan Raya Kodau, Kobek, Jabar. Klik. Dari dalam mobil saya abadikan dengan kamera ponsel karena saya tidak sedang menyetir. Di sana terjajakan baju bekas alias babe β€” bisa juga babe berarti barang bekas. Tentu itu hanya sebutan, karena tak semuanya baju. Ada juga pantalon. Ternyata pada hari yang sama Kompas.id juga mengangkat topik pakaian impor bekas.

Dalam Brief itu tersebutkan alasan orang membeli barang bekas degan jenama kuat:

“Pada titik ini, konsumen tidak hanya sekadar membeli pakaian dengan harga murah. Namun, lebih pada gaya hidup berpakaian berlabel mentereng dengan harga enteng di kantong. Hal ini menjadi salah satu poin penting yang dicari oleh konsumen.”

Baju bekas

Dua tahun lalu saya menulis panjang soal babe ini. Hari ini masalahnya tetap sama:

  • Bagi konsumen bisa sering ganti baju dengan murah
  • Bagi importir dan penjual berarti ada pemasukan
  • Bagi produsen garmen domestik berarti ancaman, ekosistem industri produk tekstil bisa berantakan, hasilnya adalah PHK
  • Atas nama lingkungan, kaum pro-thrifting merasa telah menunda penambahan sampah β€” lho selama ini pakaian bekas langsung dibuang atau dilungsurkan?

Sebenarnya masalah utama pada konsumen namun belum tentu membuat girang produsen. Apakah bisa jumlah pakaian konsumen itu secukupnya, termasuk sepatu, hanya ganti kalau sudah rusak? Yang berlaku adalah pertumbuhan nol: satu baju baru masuk lemari, satu baju lama keluar. Masalahnya, pakaian itu bisa kaus, jaket, kemeja, blus, bahkan rok. Rumit.

Setelah keluar, pakaian diapakan? Dijual. Buka stan akhir pekan ala garage sale. Lho sama dong dengar bursa babe impor dan selundupan? Mmm… mungkin.

Yah, lagi-lagi masalahnya pada konsumen tetapi bukan semua konsumen. Hanya kelas bawah banget yang pakaian yang sedikit, itu pun mungkin dari lungsuran dan beli bekas. Sementara di negeri maju berton-ton pakaian baru dibuang di alam terbuka negeri lain. Yang bekas pakai diekspor ke negeri flea market macam Indonesia. Padahal di negeri makmur juga ada pasar loak.

Kabar polisi bawa pulang baju bekas sitaan hasil selundupan

2 Comments

Junianto Kamis 8 Agustus 2024 ~ 22.22 Reply

Ada masanya saya berkali-kali memburu babe dengan jenama kuat, Levi’s, yakni saat bekerja di Yogya. Orang-orang menyebut babe itu sebagai awul-awul, ada banyak di lapak-lapak di Sekaten, setiap tahun, dan ada di sejumlah toko di berbagai tempat, tiap hari. Belakangan saya stop berburu karena, menurut saya, penjual pasang harga tinggi untuk merek Levi’s dan sejenisnya. Sama-sama mahal, mendingan beli baru tapi nunggu ada diskon 50 persen.

Di Solo istri saya nyebut babe dengan mbaldhok. Singkatan dari gombal digodhok (pakaian bekas yang direbus). Maksudnya, setelah dibeli, sebelum dikenakan babe itu harus direbus agar kuman-kumannya, dan sejenisnya, hilang/mati😁. Sejauh ingatan, saya cuma pernah beli mbaldhok Levi’s satu kali.

Pemilik Blog Kamis 8 Agustus 2024 ~ 23.25 Reply

Baldhog. Gombal digodhog.
Sayang Blogombal nggak bisa digodhog. πŸ˜‡

Tinggalkan Balasan