Selamat datang kotak kosong

Calon tunggal lebih hemat sumber daya. Kalau partai menyalahkan politik uang, berarti mereka gagal mendidik rakyat.

▒ Lama baca 2 menit

Pilkada 2024: Festival Kotak Kosong

Beberapa daerah berpeluang mengalami Pilkada 2024 dengan kotak kosong. Misalnya Provinsi Banten, Provinsi Jambi, Provinsi Kaltim, dan Kota Batam, Kabupaten Lingga, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Sumenep. Kalau Provinsi DKI Jakarta? Sudah terbayang kotak kosong maupun calon independen.

Bagi kaum pro-demokrasi, kotak kosong bukan hal menggirangkan. Memang sih tetap ada peluang demokratis namun terpaksa bagi rakyat: kalau tak suka calon tunggal yang itu, masukkan saja kertas suara ke kotak kosong. Opsi bagi pemilih terbatas.

Salah satu pangkal soal dalam demokrasi adalah tata cara pemilihan wakil rakyat (partai) maupun pemimpin. Kalau atas nama partisipasi meluas, sehingga syarat pencalonan dipermudah, kontestan akan banyak. Ujung-ujungnya rakyat yang bingung, karena menghadapi lembar menu di meja kedai dengan puluhan hidangan mirip.

Peserta yang terlalu banyak, meskipun tak sampai melampaui jumlah jari sebelah tangan, juga memperkecil peluang pemilihan pemimpin satu putaran, karena untuk mendapatkan suara di atas 50 persen itu berat. Perolehan suara terbagi-bagi ke banyak kontestan. Tidak ekonomis.

Maka atas nama akal sehat selalu muncul keinginan agar kontestan cukup dua. Kalkulasi kalah menang akan lebih mudah. Ada lagi yang lebih praktis: calon tunggal. Kalau pemilih tak cocok, silakan pilih kotak kosong.

Ada juga sih jalan kosmetis agar tak ada calon tunggal: menyediakan cèngcèngpo atau baladhupak alias kandidat lemah sebagai penggembira untuk diadu. Pemenang merasa gagah, menjadi juara dengan bertanding melawan orang, bukan kotak kosong.

Maka ada kisah anak petinggi teratas negeri ikut pilwali, dengan lawan yang kebetulan perancang dan penjahit busana Jawa yang peluang keterpilihannya rendah, sehingga perolehan suara calon independen itu kalah tipis dari suara tidak sah.

Sang calon kuat, yang jalan pintasnya difasilitasi sebuah partai dominan dengan mengenyahkan bakal kandidat yang sudah mereka tetapkan — namun akhirnya orang-orang partai itu mengungkit skandal dengan penuh sesal dan kesal — meraih 86 persen suara.

Soal ambang batas pengajuan calon kepala daerah bisa merepotkan kalau komposisi di DPRD menyebar sehingga tak ada partai dominan yang memenuhi syarat minimum punya 20 persen kursi. Harus berkoalisi.

Sementara partai berkursi terbanyak di DPRD belum tentu dapat melenggang bebas karena sekian partai seberang kalau bersatu akan besar. Tetapi di satu sisi hal itu bagus untuk demokrasi.

Soal calon menjadi masalah ketika masing-masing partai tak punya kader unggulan untuk diadu, sehingga penjaringan calon pun alot, bahkan naturalisasi jangkrik aduan hanya memuaskan kalangan internal partai. Lalu dalam situasi macam itu bisa muncul kopromi calon tunggal. Lebih murah. Tidak boros sumber daya.

Kalau calon independen? Minimal didudukung 6,5 persen – 10 persen warga, tergantung jumlah penduduk -— makin kecil jumlah penduduk makin besar persentase pengusung —dengan bukti KTP (Keputusan KPU No. 532/2024).

Di luar kerepotan memeriksa fotokopi KTP, memobilisasi orang agar tercapai persentase itu bukan hal gampang. Tetapi kalau syarat dipermudah dengan sangat, malah bisa menjadi sasaran iseng cengengesan atas nama demokrasi.

Repot ya? Namun dalam keribetan pernah ada usul agar pemulihan kepala daerah cukup seperti zaman Orba: oleh DPRD. Mengatasi masalah dengan masalah, padahal BUMN PT Pegadaian tidak demikian. Anda ingat siapa yang usul?

Pada Pilkada 2015 ada tiga daerah berkotak kosong. Pilkada 2017 jadi sembilan daerah. Pada 2018 ada 16 daerah. Pada Pilkada 2020 ada 25 daerah. Hanya di Pilwali Makassar 2018, kotak kosong menang.

Politik bisa lucu, bisa mengesalkan.

4 Comments

Junianto Kamis 8 Agustus 2024 ~ 22.05 Reply

Mbok sing cetho, Paman, ditulis “kisah anak Joko Widodo”, bukan “kisah anak petinggi teratas negeri”….

🏃🏃🏃🏃🏃

Pemilik Blog Kamis 8 Agustus 2024 ~ 23.23 Reply

Oh anaknya Jokowi pernah gitu ya? Di mana? Melawan orang modiste juga?

Tinggalkan Balasan