Tolak miskin tapi tak tolak rokok

Kalau belanja terbesar buat makan berarti kasnya payah. Tapi konsumsi rokok orang miskin tinggi: 82 persen.

▒ Lama baca 2 menit

Komedi rokok cap Tolak Miskin untuk orang miskin

Merek rokok kretek nirfilter ini responsif terhadap keadaan sekaligus ngécé: Tolak Miskin. Para budak tembakau mengeluhkan harga sigaret yang makin mahal karena cukai per batangnya naik terus. Ihwal cukai hasil tembakau dan banderol sila lihat arsip bergambar. Adapun penggolongan cukai, berdasarkan produksi rokok per tahun, sila lihat arsip ilustrasi.

Rokok punya dua sisi masalah: kesehatan dan keuangan. Kalau diringkas ya hanya masalah kesehatan. Artinya mencakup kesehatan perokok dan orang lain, serta kesehatan dompet perokok dan keluarganya.

Komedi rokok cap Tolak Miskin untuk orang miskin

Dua tahun silam Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) menyatakan konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin cenderung tinggi, “Ini (rokok) kedua tertinggi sesudah beras, melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu dan tempe.” (Detik, 2022)

Bagi SMI, kesehatan masyarakat menyangkut beban negara. Maka dalam sebuah diskusi di Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat menterinya adalah Susi Pudjiastuti, SMI katakan pendapatan negara bisa untuk biaya operasi Susi yang tenggorokannya kering karena merokok.

Susi yang duduk di sebelah SMI langsung mencubitinya, namun SMI terus mencerocos. Hadirin tertawa (¬ Video Liputan 6, 2017).

Komedi rokok cap Tolak Miskin untuk orang miskin

Rokok mahal mendorong produsen membuat rokok murah. Jika rokoknya legal, berarti punya izin, bayar pajak dan cukai (¬ lihat arsip, rokok cap Mbois dan rokok losdol Ra Rewel). Ada juga rokok murah yang diproduksi oleh perusahaan berkapasitas kecil yang menjadi mitra perusahaan besar tenar. Cukai merek baru lebih rendah.

Alternatif lain bagi produsen adalah rokok ilegal. Ada dua macam rokok ilegal. Pertama: palsu dalam arti meniru maupun memiripkan diri dengan rokok tenar, kadang dengan pita cukai palsu (¬ lihat arsip masalah rokok palsu).

Kedua: rokok dengan merek tak meniru merek lain, namun tanpa izin, dan serupa dengan merek bajakan maupun mirip asli maka rokok jenis ini tak membayar pajak maupun cukai. Harganya murah, bisa sepertiga hingga seperempat harga rokok legal mahal.

Selain membeli rokok murah, yang legal maupun ilegal, konsumen punya dua alternatif. Pertama: mengurangi rokok atau menempuh siasat lain (¬ lihat arsip tujuh kiat hemat).

Kedua: melinting rokok sendiri atau tingwé (¬ lihat arsip romantika tingwé), pasti lebih ekonomis asalkan memakai tembakau murah dan kertas sigaret non-impor dan non-premium.

Komedi rokok cap Tolak Miskin untuk orang miskin

Rokok adalah biaya. Maka aneh jika ada orang memilih merokok daripada makan. Kalau duit cupet, setelah merokok tidak bisa makan. Tetapi kalau uang buat beli makanan, rokok bisa minta sebatang dari orang lain. Hal itu lebih sopan dan masuk akal ketimbang setelah merokok minta sesuapan nasi dari orang lain, apalagi belum kenal.

Tulisan ekonom Muhamad “Dede” Chatib Basri pekan lalu menarik. Judulnya “Kelas Menengah: dari Zona Nyaman ke Zona Makan”. Menurutnya, data enam bulan terakhir bicara daya beli kelompok menengah bawah terus tergerus.

Artikel tersebut merujuk Bank Dunia: kelas menengah adalah kaum yang pengeluarannya 3,5—17 kali di atas garis kemiskinan. Jika garis kemiskinan Indonesia 2024 adalah Rp500.000, kelas menengahnya mengeluarkan Rp1,9 juta —Rp 9,3 juta per bulan. Adapun untuk kaum rentan miskin, pengeluarannya 1—1,5 kali di atas garis kemiskinan, artinya Rp550.000—Rp825.000 per bulan.

Dede merujuk Mandiri Spending Index (MSI): porsi pengeluaran kelas menengah bawah untuk groceries (bahan makanan) meningkat dari 13,9 persen menjadi 27,4 persen dari total pengeluaran. Artinya, makin rendah pendapatan seseorang, makin besar porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya (¬ Kompas.id).

Lantas bagaimana kita memahani perokok dari kalangan kesrakat? Konsumsi rokok tertinggi pada 2017 berasal dari masyarakat miskin, 82 persen (¬ Katadata, 2022)

Dalam ungkapan Yati, penjual rokok di Lebakbulus, Jaksel, “[…] Orang mah bela-belain beli rokok sekalipun ga makan, yang penting ngerokok mah harus.” (CNBC Indonesia, Juli 2024)

¬ Bukan tulisan berbayar maupun titipan dari pihak pro maupun antitembakau, dan bukan iklan merek rokok

Tinggalkan Balasan