Mungkin para maling paham religiositas korban yang mengikhlaskan barang, karena semua hanya titipan Tuhan.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Sangkar burung di trotoar, rasa aman, dan keikhlasan

Saya melihat sangkar burung di trotoar. Burung siapa ini? Aneh, pikir saya. Kabar pertetanggaan tentang pencurian burung tak pernah berhenti. Ada yang terekam CCTV. Kata para pemilik burung, maling mengambil burung bukan untuk dipiara melainkan dijual.

Saya menyimpulkan dalam bahasa Jawa: mélik krana rega. Tamak karena harga. Bukan karena suka burung. Namun kata para pencinta burung, pencuri paham burung dan harganya. Yah, kalau saya sih tak paham burung.

Sangkar burung di trotoar, rasa aman, dan keikhlasan

Saya mencari tahu pemilik burung. Ternyata Mas Jepri, pemilik warung sayur di area itu. Sangkar biru untuk love bird itu tergeletak di trotoar polder, seberang rumahnya.

“Aman, Mas?” tanya saya.

Dia tertawa, “Saya kan bisa ngeliatin dari sini, Pak.”

Rasa aman bisa dengan pengandaian berdasarkan perhitungan rasional. Jika pun tetap kecurian, misalnya saat pemilik warung masuk ke rumahnya, mungkin itu soal apes.

Sangkar burung di trotoar, rasa aman, dan keikhlasan

Di area saya ada warung lengkap, baru, memanfaatkan carport. Tak ada pintu gulung. Saat warung tutup pada malam hari, dagangan cukup dikerudungi terpal. Bagaimana jika maling masuk karena rumah itu pernah dikuras pencuri?

Ibu dan anaknya, cowok 30-tahunan yang punya warung, tertawa kecil. Sang ibu menjawab, “Ikhlasin aja, lilahi taala.”

Alangkah bahagianya para pencuri.

1 thought on “Sangkar burung di trotoar, rasa aman, dan keikhlasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *