Akhirnya pemerintah merespons liputan investigatif Kompas perihal penggunaan antibiotik yang tak terkendali. Padahal praktik di kalangan medis tersebut membayakan kesehatan. Mikroba menjadi kebal. Menkes Budi Gunadi Sadikin akan membuat aturan pengendalian antimikroba.
Tajuk Redaksi mensyukurinya, dengan catatan penutup normatif khas Kompas yang lunak:
“Hal ini tentu mesti dibarengi dengan sosialisasi secara intensif kepada masyarakat selaku konsumen mengenai bahaya resistensi antimikroba. Dengan demikian, kesadaran warga untuk menggunakan antimikroba dengan bijak diharapkan bisa tumbuh.”
Dari kasus liputan investigatif perihal antibiotik, saya punya beberapa catatan:
- Kalau bukan oleh Kompas, melainkan oleh media lain yang lebih kecil jangkauan pembacanya, dengan jejak reputasi media belum kuat, liputan kuat macam ini takkan memengaruhi penentu kebijakan
- Poin di atas adalah hukum sosial, jika kita bukan siapa-siapa takkan didengar — memang sih media sosial bisa memunculkan keajaiban: bukan penyanyi bisa mendadak dikenal, membantah pemeo the singer not the song
- Namun media sosial dapat mengamplifikasi konten kuat dari media lemah, karena banyak akun melibatkan diri, hanya saja keefektifannya membutuhkan banyak faktor
- Media berita yang kuat dan gratis saja belum tentu bersedia melakukan liputan investigatif maupun liputan berbasis jurnalisme data dengan data primer dan sekunder, karena selain mahal juga belum tentu dipedulikan khalayak
- Dari poin di atas, kasus liputan Tempo ihwal rencana keluarga Jokowi terhadap pencawapresan Gibran, dan patgulipat konsesi tambang Bahlil (yang berbuah penyelesaian di Dewan Pers) adalah contoh kombinasi reputasi media, kualitas konten, dan sinergi promosi di media sosial
- Media sosial amat penting, percuma ada konten lezat berdaging dan bersayur nan bergizi tetapi tak diketahui publik, bahkan hanya sekadar label kemasannya — yakni gambar tangkapan layar — pun tak diperbincangkan orang
Lalu? Bikin media berita semakin berat. Bahkan dengan prinsip asal laku, pokoknya berbiaya murah, pun belum tentu berhasil, karena apapun yang mudah dikerjakan juga akan ditempuh oleh banyak orang.
Dalam bisnis media, mudah dan murah itu tinggal merangkum, atau menyadur, konten dari media lain, jika perlu gambar pun tinggal ambil, tak beda dari blog personal.
Maka pertanyaannya, akan ke mana bisnis media berita dan para jurnalis dalam arti semua jurnalis?
Menyalahkan perkembangan media sosial dan perubahan selera publik terhadap kemasan informasi tentu bukan jawaban. Dalam media sosial ada pertumbuhan media tanpa rumah, homeless media, terutama berupa video. Masing-masing pelaku membangun, merawat, dan meningkatkan reputasi. Publik yang menilai.
Dalam lanskap macam itu muncul pula konten video berupa pencomotan dan pemeretelan milik pihak lain yang dikemas singkat, kadang dengan judul dan isi kagak nyambung, atau dengan sulih suara hasil AI maupun bukan, tetapi banyak yang menonton dan membagikan.
Pada titik ini, segala celoteh tentang literasi media, apalagi dari kalangan pekerja media berita, bisa dianggap sebagai kekenesan intelektual.
Adalah hak publik untuk memilih dan menyaring informasi, termasuk terhadap klarifikasi pemerintah, gerundelan media yang kontennya dipereteli, penjelasan media yang merasa difitnah oleh skrinsyot fiktif, dan pemaparan cek fakta oleh clearing house macam Mafindo.
Begitu mudah dokter memberikan antibiotik, di sisi lain ada persoalan media