Liputan mendalam dengan investigasi, riset, dan observasi itu mahal. Tak semua media ma(mp)u melakukannya. Ada jalan keluar sih.
↻ Lama baca 3 menit ↬

Kemelut antibiotik yang serampangan

Bukan isu baru tetapi bagi saya paket sekian tulisan dalam laporan investigatif Kompas tentang antibiotik itu menarik. Ada gambaran peta masalahnya.

Bahwa antibiotik bukan untuk setiap kasus, banyak orang yang tak berlatar pendidikan maupun profesi medis juga tahu. Lalu persoalannya kenapa peresepan dan bahkan pembelian antibiotik secara bebas semudah obat over-the-counter masih berlangsung?

Kisah seorang dokter anak di tengah Industrio-Medical Complex
RUWET | Kisah seorang dokter anak di tengah meluasnya gejala industrio-medical complex

Tentu di sini saya tak akan meringkas laporan Kompas. Silakan Anda baca sendiri. Ada banyak persoalan di sana, termasuk pemahaman di sebagian kalangan dokter dalam mendiagnosis.

“Sudah sangat sulit mengubah dokter, jadi kami berupaya mengubah kesadaran pasarnya,” kata Purnamawati S. Pujiarto, dokter spesialis anak, inisiator Milis Sehat yang kemudian berlanjut menjadi Yayasan Orang Tua Peduli.

Kemelut antibiotik yang serampangan

Ada persoalan lain, yakni kemerataan informasi. Ya, pasal literasi. Kalau untuk flu dan sakit ringan lainnya saya menawar dokter apakah boleh menolak antibiotik, karena yang saya butuhkan adalah istirahat beberapa hari, dan untuk itu saya memerlukan surat untuk kantor saya. Sejauh ini dokter mengizinkan.

Pernah di sebuah poliklinik saya diberi dekongestan dan obat pereda gejala flu lainnya tetapi ditambah antibiotik. Yang antibiotik tidak saya minum sama sekali. Adapun untuk sakit lain yang harus memakai antibiotik, karena kata dokter harus begitu, pilihan saya cuma jangan diminum atau diminum sampai habis sesuai aturan pakai. Setahu saya, antibiotik untuk membunuh bakteri, bukan virus.

Kemelut antibiotik yang serampangan

Redaksi menulis, “Berdasarkan arsip 25 tahun terakhir, Kompas telah menerbitkan 108 artikel tentang isu antibiotik.”

Jumlah segitu untuk seperempat abad itu banyak atau sedikit saya tidak tahu. Meskipun belum membaca sampel arsip tersebut saya mengandaikan tulisan tesebut disertai rujukan yang relevan dan wawancara.

Tak semua media mau melakukan hal itu karena antara lain menyangkut akses terhadap rujukan. Untuk soal lain, misalnya isu militer dan alutista, Kompas pada abad lalu, saat internet belum merata, merujuk Jane’s yang buku-bukunya mahal sehingga tak setiap perpustakaan media punya. Begitu pula akses terhadap publikasi lembaga studi dan riset pertahanan di luar negeri.

Purnamawati S. Pujiarto, dokter spesialis anak, inisiator Milis Sehat yang kemudian berlanjut menjadi Yayasan Orang Tua Peduli.

Ya, arah tulisan saya jelas, yakni menyoal media berita Indonesia saat ini. Kenapa tak semua media melakukan peliputan mendalam dan lengkap berupa investigasi, riset, wawancara, dan observasi di lapangan? Karena biayanya mahal.

Sudah mahal, menguras bujet operasional redaksi, eh setelah dimuat hanya sedikit yang membaca dan membagikan serta memperbincangkan, kemudian liputannya tak memengaruhi penentu kebijakan. Tak berdampak. Media berita berjejaring nasional dengan iklan berjejal saja tak melakukannya apalagi media kecil.

Kemunculan media berita daring ternyata menghadirkan satu hal yang sama. Atas nama pemenuhan kebutuhan pembaca, konten antarmedia bisa mirip, berita apa saja masuk, tak ada faktor pembeda. Laporan analitik dan algoritma jadi kambing hitam. Maka saya pernah mencontohkan kekompakan media mengangkat kabar usang tentangkeperjakaan seorang seleb.

Kisah seorang dokter anak di tengah Industrio-Medical Complex
SENGKARUT | Kisah seorang dokter anak di tengah meluasnya gejala industrio-medical complex.

Sebenarnya ada jalan keluar sih, sayang tak semua media bersedia melakukan. Yakni dengan kolaborasi antarmedia maupun dengan pihak lain. Liputan Tempo tentang konsesi tambang, dan permainan Meninves Bahlil Lahadalia, terselenggara karena bekerja sama dengan Greenpeace.

Selain itu laporan Tempo tentang Panama Papers pada 2016 merupakan hasil kolaborasi puluhan media mondial di bawah naungan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).

Buku gratis tentang antibiotik dari Who
GRATIS | Buku panduan dari WHO tentang antibiotik, dapat Anda unduh dari laman IRIS WHO

Bagaimana jika media kekurangan sumber daya padahal ingin sesekali menyajika laporan mendalam dengan observasi di lapangan dan memanfaatkan data sekunder yang relevan? Bisa. Dengan kolaborasi.

Saya pernah terlibat tipis di belakang meja, dalam sebuah serial liputan tematif oleh sebuah tim ronin, dengan video dan foto serius, melibatkan drone, lalu hasilnya dimuat di sebuah media berita daring. Semuanya sudah direncanakan bersama media tersebut. Biayanya dari mana? Hibah.

Sayang setelah itu Covid-19 datang. Tim pun bubar.

Kembali ke kepedulian pembaca, cara Tempo menarik: membuat obrolan sneak preview bernama Bocor Alus di YouTube. Kulit luar laporan tersiarkan, dengan bonus cuilan daging peliputan, sehingga brand awareness di benak khalayak pun terawat, padahal tak semua penyimak tontonan itu bersedia membaca konten Tempo yang berbayar.

Justru dalam era media sosial tersedia sekian kanal untuk menggemakan konten eksklusif. Sore hari ini (25/3/2024) tim investigasi antibiotik @hariankompas menggelar obrolan dengan dokter di X Space.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *