Misalnya judul pos ini adalah “Ketemu uler dst…” pasti akan disangka saya bersua ular saat mencuri daun salam. Pelafalan ular dalam bahasa Indonesia gaul, terutama Jakarta lalu menyebar ke daerah, adalah “ulêr”. Padahal bagi orang Jawa, ulêr adalah ulat. Sedangkan ular adalah ula.
Maka baiklah, kita tinggalkan soal bahasa. Tentang ulat, tak semua orang tabah menghadapinya padahal hanya seekor. Kalau ulatnya banyak seperti pada pohon alpukat tentu bikin jeri.
Ehm, maaf, saya kembali ke soal bahasa. Sebagian orang, dalam bahasa Jawa, disebut gila saat menghadapi ulat. Gila dibaca “gi-lo” dengan “o” seperti dalam kata “sodok”. Kemudian dari ucapan “gi-lo” terbentuklah kata nggilani dan megilan.
Apa sih bedanya gila dan wedi (takut)? Kalau Anda takut terhadap sesuatu, setelah ditemani orang lain akan hilang perasaan itu. Sedangkan gila, jika Anda ditemani seratus orang pun tetap bergidik.
Dalam bahasa Indonesia versi percakapan, gila Jawa kadang disebut jijik bahkan geli. Bagi saya kurang pas sih.
Meskipun seseorang gila, dalam arti ngeri, terhadap ulat, dia akan suka ketika mendapati si ulat sudah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Mungkin itu seperti cewek yang mulanya gila terhadap seseorang cowok kemudian menjadi tergila-gila dan akhirnya berjodoh. Itulah yang disebut witing tresna jalaran saka gila. Ada metamorfosis rasa dalam hati.
Lalu soal pencurian daun salam? Dari luar pagar sebuah rumah tetangga saya tadi sudah permisi, “Pak Bono, mohon izin saya akan mencuri salam.” Setelah pemetikan usai, saya berpamitan, “Terima kasih, Pak.”
Setibanya di rumah saya mengirim pesan via WhatsApp, melapor telah mencuri. Padahal tanpa bilang pun boleh. Si pemilik pohon sudah mewakafkan salam untuk lingkungan pertetanggaan.
