Aku ngeblog maka aku ada, aku nggak ngeblog maka aku tetap ada. Kata wong Jawa, ora ngeblog ora pathèken.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Aku ngeblog maka aku ada, aku nggak ngeblog maka aku tetap ada

Aku hanya menyimak tanpa pernah berkomentar. Di sebuah grup WhatsApp yang berisi bekas pekerja media itu topik bagaimana tetap eksis sekaligus menambah jejaring dan cuan selalu ramai. Di grup lain juga ada yang demikian.

Ada yang bermain video di Facebook, YouTube, Instagram, dan akhirnya TikTok dengan aneka topik dan pendekatan. Prinsip mereka, apapun yang bakal ditonton orang itulah yang dibikin.

Salah seorang mengingatkan, kita semua bekas orang media, dulu bikin berita itu yang laku, yang dibaca orang, bukan demi ego dan segelintir peminat. Misalnya saat membahas seni, terutama musik. Membahas buku juga dihindari karena itu cuma cerminan snobisme sok intelek.

Yang lain berkomentar, dulu pada era blog ada pendapat kalau memuaskan ego menulislah di blog. Menulis karena ingin menulis. Tetapi semua akhirnya saling ledek karena tak ada yang pernah punya blog kecuali tiga orang.

Salah satu yang pernah punya blog mengakui menulis di blog pun tak bisa menuruti ego. Prinsip bisnis media yaitu jangkauan pembaca, hubungan baik dengan pelbagai circles, dan reriungan lebih utama karena berhubungan dengan fasilitas untuk konten dan secara tidak langsung duit. Sebagai freelancer hal itu penting. Baginya, kalau ingin menuruti ego tulislah cerpen dan novel.

Yang lain mengambil semua yang ngetren untuk dia coba, dari blog, Twitter (sebelum menjadi X), Facebook, Instagram, YouTube, hingga TikTok, namun secara ekonomis tak menghasilkan. Memang sih lumayan untuk menjaga eksistensi diri. Menulis di Medium? Dia tak berminat. Alasannya, atmosfer di sana terkesan tak ramah bagi narsisis. Medium juga blog, padahal kini ngeblog sudah tidak realistis.

Tetap eksis, lalu menghasilkan konten yang jadi duit. Itulah tema yang ber-Stabilo dalam grup. Namun tak semua anggota pernah aktif di platform khusus media sosial. Setelah tak bekerja di media, mereka baru memikirkannya.

Kemudian ada anggota grup yang menyebut namaku. Dia katakan aku masih ngeblog, buat mengerem kepikunan, dengan banyak gambar hasil produksi sendiri bahkan pernah bikin infografik. Dia katakan pula aku tak pernah membagikan pos dalam blog ke grup, sehingga banyak yang tak tahu.

Lalu aku ditanya soal SEO, iklan programatik, kerja sama konten dengan pihak lain, dan sebagainya, namun jawabanku mengecewakan karena aku bilang belum memikirkan, belum mempelajari. Apalagi untuk iklan yang berjejal di layar, kalau aku saja tak nyaman bagaimana dengan pembaca?

Akhirnya salah seorang dengan meminta maaf menyebut aku menyimpang, cenderung mengabaikan tren konten digital. Dia katakan aku menulis untuk diri sendiri.

Mungkin dia benar.

Lalu salah seorang menyoal blogku tidak terkenal, artinya sedikit pembacanya. Dia saja baru tahu.

Tetapi jawabanku dianggap jemawa. Aku bilang, blogku tidak jelek amat, karena ada yang lebih parah, tetapi kalau orang lain tidak tahu blogku maka masalahnya bukan di aku.

12 thoughts on “Ngeblog sudah tak realistis

  1. Wow Pamantyo ada lagi blognya, saya baru tahu. Waktu SMP dulu, kenal ngeblog salah satunya dari blog Paman, kayaknya pertengahan 2000-an. Dari situ ngeblog terus on-off. Terakhir vakum dua tahun lebih. Baru datang lagi sekarang.

    Kalau ngikutin tren, udah pasti bukan di blog tempatnya ya, hahaha. Saya juga bertahan di blog karena suka saja, bukan untuk cari uang. Meskipun di instagram bisa nulis panjang dalam bentuk gambar. atau bisa bikin video. tetap blog awal mula saya.

    Dulu blog sedikit yang tahu, jadi lingkarannya kecil, semua orang kenal semua orang. Kemudian blog membesar, meledak, sama seperti media sosial di masa kini. Orang-orang datang bergelombang, komunitasnya jadi terlalu besar.

    Ketika sekarang dia (blog) kembali “tidak populer”, saya malah merasa mendapatkan komunitas yang lebih “akrab” dari sebelumnya. Mungkin karena mayoritas narablog yang ditemui di dunia maya, memiliki motivasi yang sama: ngeblog, ya, karena suka.

  2. Mas blogombal. Mimin SGPC disini, maaf tiga bulan terakhir sempoyongan sama masalah peretasan di web lama. Ganti domain karena super adminnya ga becus ngurus permasalahan peretasan.

    Ngeblog sejak Desember 2018, udah terlambat sekali sebenarnya, yang lain sudah nge-vlogging dan bikin foto-foto di instagram.

    Katanya, masyarakat Indonesia itu terlalu banyak lebih suka jadi penonton, konten kreator harus ikut tren masyarakat. Tapi ya tahu sendiri tren masyarakat itu seperti apa.

    Dan soal tuntutan manajemen konten dan search engine optimisation saya hanya mainkan apa bisanya. Sulit diterapkan, apalagi konten bahasa Indonesia. Pemasukan dari iklan seret, apalagi di bulan-bulan awal migrasi blog ke domain dan hosting baru. Akhirnya mulai sediakan layanan jual-beli PDF majalah bekas bagi yang minat. Ayo ke blog saya, isi sama, hanya beda domain.

    1. Halo Mas!
      Terima kasih.
      Waduh baru tahu ada masalah peretasan.

      Saya bertakzim kepada SGPC. Kadang saya share kontennya via WA. Salah satunya ke seorang dosen arsitektur.

      Lebih dari sekali saat ditanya apa blog paling mengesankan saya, jawaban saya adalah SGPC.

      Blog tentang traveling dan kuliner sudah banyak. Apalagi yang isinya acak spt blog ini.

      Kebetulan saya tertarik kepada arsitektur dan masalah urban. Maka dari SGPC saya beroleh info gedung-gedung Indonesia modern. Jarang yang melakukan studi untuk itu. Kalau gedung era kolonial sih banyak bahan.

      Konten SGPC butuh ketekunan. Riset pustaka versi kertas itu pasti. Lalu kadang motret sendiri. Ini kerjaan serius, Mas.

      Salam hormat. 😇🙏

  3. Salut masih konsisten nge-blog. Tapi sekarang para digital marketer juga menyarankan untuk punya, minimal landing page. Untuk menyeimbangkan konten di media sosial atau menambah follower.

    Benar kalau mengikuti aturan algoritma, SEO dkk, memang awalnya mungkin jadi agak kaku dan terbatas. Ya, paling benar memang ngeblog karena suka juga..

  4. nulis blog jaman sekarang itu berat dan tidak mudah. saya salut sama paman. saya yang pengen kembali ngeblog saja keteteran, padahal banyak yang pengen ditulis.

    memang kalo nuruti algoritma dan SEO, capek sendiri. awalnya sih memang buat nge-boost konten, tapi lama-lama jadi budak.

    1. Lha kan banyak alternatif untuk tempat menulis, Zam. Misalnya FB atau IG yang ringkas dengan berbasis gambar. Yang namanya konten pun nggak cuma blog kan? Lihatlah keberhasilan TikTok. Tanpa kejadian smartphone dan mobile internet, TikTok mejen.

      Bandingannya dulu dengan Text Amerika, konten bergambar via MMS, mahal, maka nggak laku karena lahir terlalu dini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *