↻ Lama baca 2 menit ↬

JANGAN-JANGAN MEREKA TAK PAHAM ANGKUTAN UMUM.

Beberapa hari belakangan ini terus muncul keluhan pengguna angkutan umum: bepergian jadi tak nyaman karena kawasan Cawang, seberang kampus UKI, “ditertibkan”. Terminal bayangan, untuk kesekian kalinya, digebah. Bus AKAP tidak boleh berhenti di sana. Dan seterusnya.

Sumber kekusutan adalah perencanaan kota. Para tuan birokrat sepertinya pura-pura tidak tahu bahwa kawasan Cawang di Jakarta Timur itu adalah gerbang bagi komuter Bekasi dan Bogor. Adanya simpang susun (interchange) jalan tol di sana, yang pincang itu, membuktikan bahwa Cawang sesuai namanya: sebuah percabangan untuk keluar dan masuk.

Sebelum ada JORR ke Cikunir, Bekasi (2007), simpang susun ini membuktikan keanehannya. Pengguna jalan tol Jagorawi (dari Bogor) jika akan berpindah ke jalan Jakarta-Cikampek, harus keluar dulu. Artinya kalau lalu lintas normal silakan berdesakan di UKI. Dari Bekasi akan ke Bogor juga sama.

Di Cawang, orang yang akan masuk ke Jakarta akan berganti kendaraan umum. Yang akan keluar dari Jakarta juga berganti kendaraan umum. Penduduk Jabodetabek terus bertambah (hanya DKI, Januari 2009 tercatat 8,5 juta jiwa), jumlah aneka kendaraan juga meningkat.

Dulu, sebelum 1993, pergantian itu dilakukan di Terminal Cililitan, sekitar satu kilometer dari Cawang. Pengganti Cililitan adalah Terminal Kampung Rambutan, sekitar 10 km dari Cawang.

Maka orang Bekasi, sepulang kerja dari arah Semanggi dan Priok, akan berganti angkutan di Cawang. Orang Bogor juga. Pasti sesak.

Lalu jejalan itu ditambahi bus AKAP (entah apa batasannya), yang bisa mengangkut orang dari Cawang ke Bogor dan Sukabumi (lewat Jagorawi), dan ke Bekasi atau Karawang (via jalan tol Cikampek). Maunya pemprov DKI, bus AKAP itu berhenti di Terminal Kampung Rambutan.

Aha! Di sinilah kekusutan muncul. Pemprov DKI, dan juga tetangganya di Bogor dan Bekasi, seperti kehabisan akal. Tampaknya, yang paling mudah bagi para tuan itu adalah membayangkan semua komuter memakai motor dan mobil pribadi.

Bahwa kendaraan pribadi — kalau pinjam istilah Adinoto: transportasi publik dalam arti transportasi yang diupayakan oleh publik — akan berjejal di jalan dan tempat parkir, itu soal berikutnya.

Monorel atau apalah yang termasuk MRT cuma maju-mundur di tingkat perencanaan. Setiap kali terdengar kabar bagus, warga cenderung skeptis. Tiang pancang sudah ditana eh kagak dilanjutun. Memang sempat ada soal keadilan nasional: haruskah rakyat Indonesia di luar Jabodetabek ikut membiayai kebutuhan warga Ibu Kota?

Sejauh saya tahu belum ada eksekusi dari solusi yang cantik dan beradab untuk memecahkan masalah transportasi umum di Ibu Kota dan sekitarnya. (Semoga rencana yang sekarang akan terwujud)

Akibatnya Cawang hanya menjadi simpul kekusutan. Sudah begitu, disiplin yang rendah dari pengguna jalan (terutama awak angkutan umum dan pedagang kaki lima), dan ehm… pungli oleh penjaga ketertiban, ikut memperparah kondisi. Ibaratnya, kalau jalan diperlebar sampai dua belas jalur pun hanya akan berarti menambah area ngetem dan kapling lapak kaki lima.

“Sapa suru datang ke Jakarta,” kata Anda. Baiklah. “Makanya jangan naik angkutan umum,” kata sebelah Anda. Baiklah juga.

Jangan-jangan para tuan juga begitu. Mereka merencanakan sistem transportasi di atas peta, tanpa langsung mengalami sebagai pengguna angkutan umum. Atau pernah mengalami tetapi ingin melupakan karena terlalu menyakitkan.

+ Bonus: Tiket ke akhirat: penumpang bus diminta mengadu nyawa di jalan tol 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *