Toko itu tampak jadul. Ada jendela kayu penutup etalase. Kalau pintunya sih tampak modern, begitu pun pegangan dan rumah kuncinya. Saya melihatnya di Bogor, Jabar, tempo hari.
Adapun tulisan Wisma Batik mengesankannya sebagai gaya tulisan tangan nyeni 1970 — medio 1980-an. Gaya tulisan boleh lama — jauh berbeda dengan gaya grafiti sejak 1990-an, apalagi awal 2000-an dengan gaya bubbles — namun saya menduga ini ditorehkan sekitar sepuluh tahun silam. Atau bisa juga beberapa tahun lalu dilakukan penulisan ulang, memperjelas tulisan lama.
Menurut teman saya di Bogor, toko itu, di Jalan Merdeka, bukanlah toko buku seperti yang di dekat Tugu Kujang, seperti saya poskan di blog ini sepuluh tahun silam, melainkan toko pakaian. Menurut Google Maps juga begitu. Apakah yang dijual hanya pakaian berbahan batik, saya tidak tahu karena tokonya tutup.
Toko Wisma Batik yang di dekat Tugu Kujang akhirnya menjadikan kantor BCA dengan bangunan baru.
Keberadaan dan kenangan toko lama bisa beragam pada setiap benak. Untuk pencinta buku, kehadiran toko buku langganan pada masa bocah hingga remaja di kotanya akan melekatkan remah-remah nostalgik; tetapi tidak untuk orang yang tak suka buku.
Hal serupa berlaku untuk toko kaset dan rumah makan. Pun toko khusus lainnya, misalnya toko alat musik dan toko perlengkapan olahraga.
