Lihatlah kuping atau pegangan pada mug di atas, yang kiri lumrah, yang kanan lebih panjang. Saya tak tahu kenapa kuping bergaris di sebelah kanan dibikin njepiping seperti habis dijewer. Padahal dia tidak nakal.
Dari sisi biaya, tepatnya bahan, yakni lempung, kuping panjang lebih boros. Yang jadi masalah, jika merujuk prinsip perancangan menurut Marcus Vitruvius Pollio (lahir 80—70 SM, meninggal setelah 15 SM), adalah pasal kekuatan, kagunan, dan keindahan.
Dari sisi kekuatan, anggap saja si kuping panjang ini kokoh seperti lazimnya mug. Dari sisi kagunan, tanpa lubang jari selebar itu pun kuping si mug sudah cemekel, mudah dipegang. Artinya jari telunjuk bisa masuk dan jari tengah bisa menyangga kuping. Lalu dari sisi keindahan? Menurut saya nggak estetis.
Jari penyangga kuping itu sangat diperlukan agar cangkir maupun mug terpegang kuat, tidak menungging ke depan apalagi saat terisi minuman. Maka kuping cangkir tanpa lubang pun tetap dapat berfungsi, pun estetis, karena ada tempat untuk menyangga bagian bawah kuping. Jika kuping dipegang seperti menjewer, cangkir akan membungkuk (¬ lihat arsip #1).
Apakah cangkir dan mug bisa tanpa kuping? Tentu bisa. Cangkir kecil teh, sebagai bagian dari set dengan teko, biasanya tanpa kuping. Jika ukuran mug jangkung, ketiadaan kuping dapat disiasati dengan membuat efek kelopak pada bibir, njebèr keluar, sehingga bisa disangga oleh jari. Ini akan membantu saat minuman di dalamnya masih panas (¬ lihat arsip #2).
Mug jangkung dengan kuping menyerupai lengan juga ada. Bukan lengan berkacak pinggang melainkan lengan buntung, tinggal bahu (¬ lihat arsip #3).
Anda suka desain kuping dan pegangan cangkir maupun mug yang mana? Atau tidak penting semuanya?
Oh ya, ihwal Vitruvius, dia diabadikan oleh Leonardo da Vinci dalam Manusia Vitruvian yang menjadi simbol arsitektur.
One Comment