Kursi itu untuk duduk, harus kuat sekaligus indah. Dari kata duduk muncul kedudukan, yang menggoda untuk dicapai secara ngawur.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Kursi itu mungkur diisi, dan persoalan adab negeri ini

Dalam othak-athik gathuk, orang Jawa menyebut kursi sebagai akronim mungkur diisi. Artinya ketika orang yang mendudukinya beranjak maka orang lain segera menggantikan. Tentu tak berlaku di semua bidang kehidupan. Nanti saya sodorkan pengalaman untuk ilustrasi.

Kemarin di sebuah ruang dalam ruko, ketika mendapati sebuah kursi — bukan bangku karena memiliki sandaran punggung — dengan penutup bagian bawah sudah menjumbai, saya pun melamun. Pikiran berjalan dengan arah sesukanya, karena saya hanya sendirian di ruang itu.

Orang bisa menyebut kursi itu rusak. Namun tidak bagi saya. Hanya penutup bawah jok yang robek. Keadaan itu tak memengaruhi kekuatan kursi. Memang dari sisi keindahan hal itu mengganggu mata.

Apa boleh buat, cita rasa dalam tebar pandang kita sering kali rewel: menuntut keterpaduan fungsi dan estetika. Adapun dalam fungsi, kita mensyaratkan konstruksi kukuh. Sangat Vitruvian. Untuk kursi berarti kuat untuk diduduki orang dewasa.

Tak apa, itulah karunia yang diterima manusia. Maka kita tak dapat sekadar menempatkan busana sebagai penutup tubuh. Rupa dan potongan berikut cara menjahit bahan juga penting.

Lalu tentang kursi. Saya menganggapnya sebagai salah satu tonggak peradaban manusia. Saya membayangkan, sebelumnya orang hanya jongkok, bersila, lalu duduk jika ada batu maupun batang pohon melintang. Kemudian manusia menemukan tahap primitif manufaktur: membuat tempat duduk, mengikat kayu.

Dalam perjalanan waktu, kursi juga berarti jabatan. Ada kata lain yang jelas asal-usulnya: kedudukan, dari kata dasar duduk. Demi kedudukan, orang bisa berlaku abai martabat, tujuan menghalalkan cara.

Juga demi kedudukan, dalam arti harfiah duduk, sekelompok orang dapat bekerja sama dengan mengabaikan hak orang di luar mereka.

Maka inilah contoh yang saya janjikan dalam akhir alinea pembuka.

Duhulu semasa berkuliah, tahun 1980-an, saya kerap naik bus dari Salatiga ke Yogyakarta dan sebaliknya. Tak ada bus langsung, sehingga untuk ke Salatiga maupun ke Yogyakarta saya harus berganti bus di Kartasura atau sekalian di Surakarta (lebih jauh).

Ada perbedaan dalam memperlakukan penumpang di antara bus Semarang—Solo PP dan Solo—Yogya PP. Dalam bus Semarang—Solo, kondektur selalu peduli siapa penumpang jarak jauh dan siapa yang dekat.

Maka ketika ada seorang penumpang turun di Tengaran, 34 kilometer sebelum Kartasura, kondektur memberikan kursi kepada penumpang yang berdiri sejak naik dari Bawen (16 kilometer sebelum Salatiga) menuju Kartasura sejauh 60 kilometer di depan, atau 70 kilometer jika menuju Surakarta.

Maaf, penjelasan saya barusan bertele-tele supaya Anda dapat membayangkan jarak tanpa melihat peta.

Bagaimana bus Solo-Yogya? Kondektur tak peduli jarak tempuh setiap penumpang. Jauh dekat sama nasibnya.

Karena sesama komuter saling kenal wajah, maka saya sederhanakan saja ceritanya: pada kursi penumpang yang cuma menempuh 15 kilometer, begitu pen-duduk-nya berdiri, langsung digantikan penumpang berdiri yang akan turun lima kilometer ke depan. Begitu seterusnya.

Kondektur tak peduli. Kalau ada penumpang berdiri sejak dari Kartasura hingga Janti, Yogyakarta, sejauh 51 kilometer, karena salah posisi berdiri, bukan di dekat penumpang duduk jarak dekat, itu adalah nasib.

Kondektur berarti pengatur, bukan cuma kolektor uang ongkos menumpang. Misalnya kondektur kunyuk keparat bedebah itu tampil dalam talk show di TV maupun YouTube hari ini, dia akan berkilah, “Lha ya terserah sesama penumpang untuk bernegosiasi maupun untung-untungan rebutan tempat duduk.”

Dia membiarkan sejumlah penumpang bekerja sama untuk menguasai tempat duduk secara estafet. Kalau ada ibu hamil berdiri tak mendapatkan kursi karena tak ada penumpang yang tahu diri, dia juga cuek, kecuali si ibu memohon dicarikan tempat duduk.

Oh ya, sejauh saya mengalami, kondektur bus Solo—Yogya dulu tak mengingatkan penumpang jika ada copet. Maka apapun dalih dia, jangan salahkan orang yang berpendapat secara sepihak dan tak adil menyebut kondektur berkomplot dengan copet.

Itu tadi baru kasus kursi dalam sebuah bus yang bergerak. Bukan dalam hal yang lebih luas, yang ehmm yah gitu deh, silakan Anda teruskan…

3 thoughts on “Kursi itu mungkur diisi, dan persoalan adab negeri ini

    1. Sebenarnya umumnya sopir dan awak bus mana pun nggak suka copet. Kalo bus kecil Blok M – Tanahabang dulu suka ngerem ngerem gak enak buat memberi tahu penumpang ada copet.

      Bus antarkota spt Smg-Solo, Solo-Yk, Yk-Smg tdk berani melawan copet krn copet punya geng. Bahkan geng copet punya hubungan baik dgn polisi krn mereka brpa kali ditangkap.

      Sekira 10 thn lalu Kompas membuat fitur, seorang veteran copet di Yk terpaksa beroperasi lagi krn harus setor ke polisi yang akan pindah tugas. Edan to?

      BTW persoalan maling di bus malam beda lagi: ambil laptop. Pemainnya itu-itu. Polusi sdh hapal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *