Yang penting selfie dan fotonya harus segera dibagikan. Apa dan bagaimana sosok bangunan latar itu tak penting.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Atmosfer taman bunga Celosia, Bandungan, Kab Semarang, Jateng

Begitu tiba di depan gerbang masuk taman bunga, seorang ibu anggota rombongan langsung berswafoto. Saya tak tahu hasilnya namun menduga fotonya berupa wajah si ibu dengan latar belakang gerbang bertuliskan “pintu masuk”.

Itulah poin pertama fotografi digital dalam ponsel: orang cepat belajar, tak perlu banyak teori, cukup melihat contoh foto orang lain dalam berswafoto. Pada kamera saku tanpa layar pemampang yang dapat diputar, selfie adalah jurus untung-untungan.

Untuk ponsel, semuanya mudah: sejak autofokus hingga mengaktifkan rana melalui timer secara otomatis melalui lambaian tangan. Saya belum dapat data berapa perkiraan volume ledakan gambar dan video digital per hari yang dihasilkan ponsel. Ukuran terabita (TB; 1.024 GB) terlalu kecil, tapi apakah sudah mencapai yotabita (YB) — dua bita pangkat 80, sejuta triliun megabita?

Atmosfer taman bunga Celosia, Bandungan, Kab Semarang, Jateng

Gelombang pesta gambar digital itulah yang dimanfaatkan para pemilik tempat wisata dan kedai. Instagramable atau laik Instagram itu wajib hukumnya.

Dari sisi pemasaran, itu adalah cara yang murah, tak perlu membayar jasa pihak lain, biarkanlah pengunjung yang mempromosikan karena mereka terkesan oleh tempat dan sajian.

Atmosfer taman bunga Celosia, Bandungan, Kab Semarang, Jateng

Keterkesanan adalah bagian dari pengalaman. Tepatnya, dalam kasus tempat wisata dan kedai — serta tempat lain termasuk rumah ibadah yang bernasib mendapatkan fungsi ganda menjadi tujuan wisata — adalah pengalaman spasial (keruangan).

Beda orang beda selera dalam menyerap apa yang dilihat dan dirasakan. Foto dan video adalah ungkapan visual nan personal untuk menceritakan pengalaman di sebuah tempat.

Atmosfer taman bunga Celosia, Bandungan, Kab Semarang, Jateng

Tetapi apakah sebenarnya setiap orang merasakan pengalaman keruangan yang meresap dalam diri?

Jika pertanyaan barusan itu abstrak, inilah bentuk simpelnya: pengalaman macam apa yang didapatkan dari berswafoto sendiri maupun berfoto bersama, dari depan fasad ke fasad bangunan berikutnya secara sekilas?

Atmosfer taman bunga Celosia, Bandungan, Kab Semarang, Jateng

Begitulah, pengalaman keruangan itu personal, beda orang beda tangkapan. Dalam hal tempat wisata berisi bangunan artifisial, ruang luar sering kali lebih utama daripada ruang dalam, apalagi jika cahaya di luar lebih ramah kamera.

Di taman bunga di Bandungan, dekat Ambarawa, Jateng, itu saya mendengar seorang bapak di dekat saya bergumam, “Ini tempat apa, emang bangunan aneh-aneh ini ada di negeri asalnya, menurut imajinasi mereka?”

Atmosfer taman bunga Celosia, Bandungan, Kab Semarang, Jateng

Dia bergumam setelah mengamati saya mengetuk-ketuk dinding mirip tembok tebal sebuah bangunan mirip kastil. Suara ketukan pada permukaan entah UPVC entahlah conboard itu memberi kesan ada rongga di baliknya.

Bapak itu pasti jenis pengunjung rewel yang tak dapat menikmati suasana. Dia tak pernah saya lihat berswafoto. Tetapi dia bersedia dimintai tolong memotret rombongan maupun perorangan anggota rombongan. Selebihnya dia lebih sering duduk, mengamati suasana dan perilaku orang. Seperti saya.

Atmosfer taman bunga Celosia, Bandungan, Kab Semarang, Jateng

Ketika saya tatap ramah, bapak itu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala, lalu menebar pandang ke lanskap sekitar.

Kemudian matanya berhenti pada bangunan mirip rumah kayu berloteng yang menjadi warung dengan tumpukan rapi mi mangkuk instan di sebelah lemari pendingin minuman. Ada tulisan “cafe” di sana.

“Menurut Anda, tempat ini gimana, Pak?” dia menanya saya sambil menutup botol air minum.

Saya tersenyum, “Yang penting orang-orang itu bahagia. Apalagi setelah membagikan selfie mereka dalam atmosfer yang mereka kagumi dan banggakan.”

Dia tertawa. Tetapi kami tak berkenalan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *