“Oh, kembang temangsang,” saya membatin ketika tadi pagi mendapati setangkai bunga alamanda, dari tanaman pagar, tersangkut dedaunan. Temangsang itu bahasa Jawa. Dalam berhitung dan menyebut sesuatu dalam hati — atau dalam benak? — saya masih berbahasa Jawa.
Separuh usia saya bekerja di Jakarta, dan sebagian besar dari tentang waktu tersebut saya tinggal di Kobek, Jabar. Endapan bahasa ibu masih melekat dalam perbendaharaan kata saya. Misalnya itu tadi: temangsang.
Bahasa Indonesia untuk temangsang adalah “tersangkut” dan “tersampir”. Namun temangsang menurut saya lebih mengena karena kata ini biasanya ditetapkan untuk ketersangkutan sebuah benda pada tumbuhan. Tidak mutlak sih, karena layangan juga bisa temangsang pada kabel listrik.
Adapun sumampir, atau “tersampir” dalam bahasa Indonesia, sama artinya: gumantung kumlèmbrèh. Artinya tergantung menjuntai. Sumampir bisa diterapkan untuk selendang yang tergantungkan pada bahu, dan bisa juga diterapkan pada lembaran cita yang tersampir para pagar.
Dulu saat SD, guru menceritakan sejarah di Tanah Jawa dengan menyebutkan Arya Penangsang. Dalam benak saya langsung tergambarkan seseorang yang temangsang pada pohon. Jatuh dari mana dia?
Kata salah satu versi hikayat, nama Penangsang berasal dari kata temangsang. Pangeran Sekar Séda Lèpèn (artinya “meninggal di sungai”) sebelum wafat karena pembunuhan sempat menghilirkan putranya di sungai, lalu bayi tersebut tersangkut tanaman sungai sehingga selamat, dan jadilah dia berjuluk Arya Penangsang.