Kalau adab bermedia dalam menerapkan hak cipta berlaku ketat, banyak media akan kerepotan, kecuali punya duit.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Di Instagram Antara Foto saya lihat dua foto menarik. Pertama, “orang Indian” cabang Boyolali, Jateng. Kedua, Syahrul Yasin Limpo ketika dicokok KPK. Sebutan Indian mestinya buat orang India. Lalu native American disebut apa dalam bahasa Indonesia?

Sedangkan foto Limpo menurut saya berbeda dari foto sejenis. Dalam jepretan Antara, ekspresi dia lebih menampak.

Untuk mengangkut kedua foto tersebut saya menempuh jalur aman: menyematkan tautan Instagram. Itulah bagusnya pelantar yang kontennya siap bagi melalui sematan.

Harga foto Antara

Sesungguhnya untuk memakai foto Antara Foto harus membeli. Umumnya konten kantor berita memang begitu: resolusi foto tersedia dalam sekian varian, ada kapsi komplet, tanggal bulan tahun pemotretan, dan merek kamera dan serta jenis lensanya. Hal sama berlaku untuk foto Kompas dan Tempo. Hanya pembeli eceran dan pelanggan yang boleh memanfaatkan.

Harga foto Kompas

Sejumlah penerbit yang malas berbelanja foto lebih suka asal comot foto media lain, dengan kredit nama media sumber, tanpa permisi, atau hanya mencantumkan “istimewa”. Padahal tak ada media maupun kantor berita bernama Istimewa.

Selain foto, banyak penerbit yang asal menyontek berita media lain tanpa menyebutkan sumber. Tetapi praktik ini dianggap biasa. Tidak punya reporter di Istana, asalkan presiden berbicara kepada para wartawan berarti boleh dikutip, misalnya “katanya kepada wartawan”. Bahkan wawancara eksklusif seorang wartawan media dengan presiden, menteri, dan pejabat lain kadang diperlakukan sebagai siaran pers — kecuali muncul di TV dan YouTube.

Harga foto Tempo

Kenapa? Supaya biaya produksi murah. Lagi pula pembaca cuek saja kok. Yang penting trafik sesuai cita-cita. Buat apa menggaji fotografer, atau menugasi fotografer luar, tetapi tak mendatangkan trafik.

Prinsip yang sama berlaku untuk mempekerjakan reporter, karena mencomot berita media lain tanpa menyebut rujukan juga dianggap sah. Ada media yang berprinsip menyebutkan “menurut sebuah media” dalam berita itu sudah cukup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *