Perlindungan data dalam bungkus tempe

Ketika semua dokumen pascapakai dianggap sampah biasa, lalu datanya disalahgunakan, siapa yang bertanggung jawab?

▒ Lama baca 2 menit

Perlindungan data dalam bungkus tempe

Lagi soal data lembaga dan perorangan dalam bungkus tempe mlenuk. Saya sering menjumpai. Saya pernah mengeposkan di blog ini. Apakah nama peserta ujian profesi dan sejenisnya, dengan nomor kepesertaan ini termasuk data pribadi yang harus dilindungi? Biarlah ahli hukum yang membahas.

Mendengar istilah perlindungan data pribadi kita langsung membayangkan berkas lunak, berformat digital, bukan berkas keras berupa kertas. Persoalannya, apakah kita peduli pada data dalam kertas? Sementara data pada kertas dan plastik yang merupakan bagian dari data digital bisa kita bagikan dengan ringan. Misalnya kode batang dan kode QR pada label paket dan boarding pass.

Dulu saat berkuliah, ketika semuanya serbakertas, saya sebisanya berhati-hati dengan fotokopi KTP dan SIM saya. Fotokopian yang buram atau terlalu gelap sehingga tak terpakai saya minta, saya bayar.

Setelah bekerja dan di kantor ada mesin fotokopi, hasil yang buruk saya selamatkan. Di kemudian hari ketika memimpin sebuah media saya mengajukan usul pembelian perajang kertas. Pihak manajemen menganggap permintaan ini mewah. Bagian umum bilang, hanya ruang BOD dan kantor GA yang punya. Padahal harganya tak mahal.

Memang sih saya punya pamrih pribadi: paper shredder bisa merajang lembar tagihan kartu kredit dan tagihan Telkomsel jadi kawul. Ada kerepotan dinas sih, beberapa kantor redaksi lain meminjam perajang kertas kantor saya — sama seperti meminjam kemera digital, proyektor LCD, dan printer laser — karena mereka tidak punya, tidak pernah mengajukan pembelian.

Tetapi latar waktu kisah tadi hampir dua puluh tahun silam lho, bukan tiga tahun lalu. Enam belas tahun silam setelah keluar dari korporasi yang tadi, saya membeli perajang kertas untuk di rumah — akhirnya rusak. Di tempat kerja terakhir sih saya menumpang rajang di bilik sekretaris.

Perlindungan data dalam bungkus tempe

Data pribadi. Ada informasi nama. Juga alamat. Bahkan nomor telepon. Saya bersyukur tulisan tangan dan stempel ex libris untuk buku saya tak memuat itu. Maka ketika saya menghibahkan empat puluh persen buku saya kepada seorang anak yang membersihkan rumah untuk dia jual atau bagikan, saya tak perlu merobek halaman depan maupun halaman Prancis. Bahwa di tukang loak ada nama dan tanda tangan saya biar saja.

Soal nasib fotokopi KTP dan sebagainya ini pernah saya tulis. Tentang tata cara dokumen apa saja yang pemusnahannya diatur hukum, sila baca UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan PP No. 28 Tahun 2012 tentang pelaksanaan UU tersebut.

Karena akan ada Pemilu 2024, silakan baca juga Peraturan Kepala ANRI No. 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyerahan Arsip Statis bagi Organisasi Politik. Apakah lampiran yang diperlukan hampir 10.000 caleg sementara — tepatnya: 9.925 orang — untuk mencatatkan diri itu aman? Misalnya di ruang layanan fotokopi.

Perihal penyalahgunaan kartu identitas, sila cari berita akhir 1990-an hingga awal 2000-an: ada orang mengumumkan lowongan kerja di iklan baris koran lalu menangguk banyak fotokopi KTP dan ijazah pelamar. Ini penambangan data versi awal, pradigital, dan belum masif gigantis.

Pada awal 2000-an saya dan tim legal pernah melapor ke polisi. Untuk apa? Cari selamat. Saat itu nama sejumlah media, termasuk televisi, dicatut penipu yang mengirimkan bukti kupon undian yang memuat nama dan alamat korban, memberi tahu dapat hadiah mobil dan korban harus mentransfer uang ke sebuah rekening. Semua penipu menggunakan nomor ponsel, bukan PSTN atau telepon kabel. Ada juga yang memanfaatkan fixed wireless dengan kode area dari Ratelindo.

Dari mana sumber kebocoran data? Kartu pos undian yang cuma dianggap sampah pascaundi. Kemudian perusahaan tempat saya bekerja melakukan penanganan khusus terhadap semua kupon undian.

Oh ya, tiba-tiba saya membayangkan adakah cerpen maupun esai pada era pradigital yang kemudian diremas oleh editor lalu masuk keranjang sampah dan disalahgunakan penemu? Dulu tak semua redaksi mengembalikan naskah tertolak. Mungkin untuk berhemat biaya prangko.

Perlindungan data dalam bungkus tempe

¬ Infografik: Tempo.co

Terus, nasib fotokopi KTP itu jadi apa?

Kertas polisi untuk bungkus tempe

Info pagi dalam kertas tempe dan HL koran

Hikayat Bukit Catu dalam bungkus tempe

Belajar bahasa dari kertas bungkus tempe

Data nasabah dalam bungkus tempe mlenuk

Bom ulangan bungkus tempe

2 Comments

junianto Sabtu 26 Agustus 2023 ~ 12.52 Reply

Ratelindo. Nama ini sudah hilang dari ingatan saya, sekarang muncul kembali gara-gara konten Gombal.

Dahulu kala saya tahu Ratelindo saat bekerja di Jakarta, mulai akhir Juli 1998.

Pemilik Blog Sabtu 26 Agustus 2023 ~ 16.12 Reply

Wireless fixed phone adalah solusi bagi Telkom yang rugi kalo masang tiang telepon dan ngulur kabel di wilayah baru, misalnya perdesaan. Mboten cucuk.

Tinggalkan Balasan