Sidang Kudatuli diwarnai dagelan. Hakim bilang, kasus ini berantakan sejak awal. Dia siap dipecat.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Peristiwa 27 Juli 1996 dalam buku terbitan 1997

Hari ini adalah 27 tahun Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli), yakni penyerbuan oleh massa pendukung pengurus lama, didukung polisi dan militer, terhadap kantor PDI, Jakarta, yang dipertahankan pendukung ketum pilihan kongres Megawati Soekarnoputri. Cerita seputar Kudatuli bertebaran, silakan Anda telusuri.

Saya tak akan mengulangi cerita itu. Meskipun saya menampilkan buku Peristiwa 27 Juli¹), tulisan ini bukanlah resensi buku lawas. Memang ada yang paginanya saya foto karena isinya lucu, merupakan laporan dari persidangan di PN Jakpus. Silakan menyimak teks dalam foto. Ada kalanya sidang menjadi dagelan sehingga hakim mengingatkan, “Ini bukan panggung Srimulat.”

Peristiwa 27 Juli 1996 dalam buku terbitan 1997

Saya di sini berbagi cerita dari perspektif saya. Supaya simpel saya jadikan butir-butir kisah. Mega, sebagai ketum partai yang tak disetujui rezim, saat itu berusia 49. Banyak wartawan menyebutnya Mbak Mega.

  • Hawa yang saya rasakan saat itu, siapa pun yang melawan Soeharto harus didukung
  • Saat pendukung Mega menduduki kantor PDI (belum ada PDIP), masyarakat mendukung, antara lain dengan makanan dan sumbangan yang dijaring dari banyak kalangan
  • Wartawan ikut piket jaga, begadang, supaya tak ketinggalan peristiwa, apalagi ketika gelagat penyerbuan oleh kubu Surjadi mulai terasa
  • Saat itu ponsel belum meluas sehingga pertukaran info tak begitu cepat lancar, reporter yang piket harus memanfaatkan telepon umum
  • Menjelang hingga setelah penyerbuan, info via radio paging disensor aparat keamanan
  • Ketika penyerbuan terjadi pagi hari, teman saya Jodhi Yudono yang begadang di sana pun mengabari, namun pesan tak diteruskan oleh penyeranta kepada saya — saya mengonfirmasi ke operator Starko Motorolain Corp., dijawab informasi tidak boleh disiarkan
  • Beberapa bulan sebelum terjadi Kudatuli, pihak militer mengimbau media menggunakan sebutan Megawati Taufik Kiemas, bukan Megawati Soekarnoputri

Peristiwa 27 Juli 1996 dalam buku terbitan 1997

Pada masa Orde Baru (Orba) tak ada kebebasan. Tetapi kenapa buku ini bisa terbit awal 1997? Saya tak punya jawaban sahih, antara lain karena lupa mendapatkannya dari jalur jaringan kawan yang aktivis — saya bukan aktivis — ataukah toko buku. Kalau beli di toko, dalam tanda tangan saya biasanya saya sebut nama toko, bukan hanya tanggal (27/2/1997).

Misalnya dari toko, buku rangkuman catatan dari berita media dan opini sejumlah orang, termasuk wawancara dengan kubu Surjadi, ini nongol ketika Orba mulai membuat banyak orang makin tak nyaman dan sekaligus makin berani.

Tentu kesan subjektif saya ini layak gugat: makin berani bagaimana, bukankah pada 1997 mulai berlangsung penculikan? Maaf ingatan tanpa dukungan data memang meragukan.

Peristiwa 27 Juli 1996 dalam buku terbitan 1997

Baiklah, lompat ke masa pasca-Kudatuli. Apakah saya kader PDI maupun PDIP? Tidak, eh belum. Meskipun saya pada 1996 mendesain kaus mendukung Mega untuk menjadi presiden, pada dua kali pilpres saya tak memilih dia. Namun saya pernah menulis, salah satu tokoh yang mengajak masyarakat berhenti menghujat Soeharto adalah Mega.

Megawati tak mau hujat Soeharto

Lalu lebih enak mana Orba dan setelahnya? Lebih enak setelah Reformasi dengan catatan bukan berarti semua hal baik-baik saja. Kini, orang pun boleh bilang apa saja tentang presiden, misalnya Denny Indrayana yang menyebut Jokowi bertanggung jawab atas kasus hukum yang menimpa sejumlah tokoh partai. Di zaman Soeharto tidak bisa menyerang presiden.

Denny Indrayana tentang tanggung jawab Jokowi

¹) Aliansi Jurnalis Independen dan Institut Studi Arus Informasi (Jakarta, Januari 1997)

4 thoughts on “Srimulat dalam Peristiwa 27 Juli 1996

  1. Saat meletus Kudatuli, saya masih bekerja sebagai reporter Harian Surya di Solo, dan sedang ditugaskan ke Yogya karena reporter Surya di sana cuti cukup lama. Saya ngantornya di Bernas, yang satu grup dengan Surya. Kala itu awak redaksi Bernas memantau perkembangan kabar dari Jakarta dengan tegang dan cemas karena ada kabar Willy Pramudya terjebak di kantor DPP PDI. Willy adalah reporter Persda Kompas — yang berita-beritanya tentang PDI Megawati kala itu sering jadi berita besar di Bernas.

    O ya Jodhi Yudono saat itu reporter media apa, Paman?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *