Ada kalanya kita mengetahui sejumlah hal untuk kita simpan sendiri sambil berharap segera lupa.
↻ Lama baca 2 menit ↬

daun kekuningan katanya kamala, ah apa benar?

Hampir saja foto daun ini aku hapus. Aku ingat, memotretnya dua pekan lalu dalam kejemuan menunggu sesuatu padahal lambungku sudah menagih makan siang.

Ya, aku ingat. Saat itu aku tak tahu apa yang harus aku lakukan lagi setelah ngobrol dengan sejumlah orang, secara bergantian, sampai tandas bahan bincang. Mereka mentok. Aku buntu. Sama-sama kikuk. Tetapi aku ingat, Pak Pilot bercerita tentang mesin pesawat mati sebelah. Aku tak mungkin bergabung ke riuangan pemain kartu. Aku tak suka dan tak bisa bermain kartu.

Cara untuk mengatasi kebosanan adalah bergerak. Mataku tergoda daun menguning yang bentuknya terpiuh. Aku tak tahu itu daun apa. PictureThis, aplikasi berbasis AI, memberi tahu itu daun kamala. Aku tak tahu kebenarannya.

Aku bergeser. Dari daun ke bunga. Lalu ke buah jatuh. Seperti biasa, dalam keadaan macam itu aku lebih suka memotret dengan ponsel bapuk ini padahal layarnya menggelap dalam terang cahaya alami. Sayang jika kesempatan mengenal sekitar aku lewatkan dengan membaca grup WhatsApp.

Kadang aku menjadi tahu sesuatu tanpa aku niati, dan kadang pula aku memang mencari tahu. Aku terus bergerak. Membungkuk, menerobos kerimbunan daun pada cabang rendah.

Saat itulah aku melihat pria itu, sudah tua, biasanya gagah dan necis, tetapi siang itu tampak pucat, lemas. Dia duduk di kursi reot tua, di beranda sempit tempat anjing dan kucing yang rukun itu bermalas-malasan. Aku tahu namanya. Pun tahu citranya: orang yang keras, galak. Tetapi tampaknya dia tak tahu namaku. Dia hanya mengenal wajahku.

Ketika dalam sebuah obrolan tiga bulan lalu dia menceritakan pencerahan dalam dirinya di Wirogunan aku tak menanya kenapa dia pernah diterungku dan berapa lama. Lima enam tahun silam tanpa sengaja aku pernah mendengar dia pernah dibui. Hingga tua masih suka menantang orang berkelahi. Tetapi terhadap aku dia baik, bila bersua menepuk pundakku sambil menjabat erat tanganku.

Setelah bertukar salam, aku bertanya kenapa dia menyepi di situ. “Saya sedang sakit,”, ucapnya. Kutanya sakit apa dia tak menyahut. Tampaknya dia ingin menyendiri. Sebelum mohon diri aku mengingatkan, siang itu poliklinik sejauh lima puluh langkah masih buka, ada yang piket.

Kadang aku membatasi rasa ingin tahu. Lalu aku memasuki sebuah rumah di pojokan lahan, ingin memotret anjing dan kucing yang masuk ke sana. Langkahku sampai ke ruang terbuka tanpa atap di bagian tengah belakang rumah. Dua orang penunggu sedang ngobrol. Untuk pertama kalinya aku masuk ke bangunan itu hingga ke dalam. Di teritis aku lihat besi tua dan hampir selusin botol: dari brem sampai wiski, semua buatan Bali.

Kedua orang itu tertawa tersipu saat aku berpaling dari botol ke wajah mereka. “Buat temen malem kalo dingin, Pak,” kata salah seorang. Aku tahu namanya sehingga tadi aku sapa. Dia tampaknya tak tahu namaku.

Tak banyak yang aku tanyakan. Tetapi mereka selalu menjelaskan saat mataku menatap sesuatu, dari pelek-mobil bekas sampai Honda Pitung terurai.

Ada kalanya aku tak mencari tahu hal tertentu tetapi ada yang tersampaikan kepadaku.

Bermula dari selembar daun kekuningan aku mendapatkan sejumlah cerita. Sesungguhnya hidup kita selalu terisi oleh cerita. Tak semuanya perlu kita teruskan kepada orang lain apalagi dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *