Masalah penyembuhan dan pengobatan alternatif: dalam hal apa kita dapat menimbang mana yang aman dan tidak?
↻ Lama baca 2 menit ↬

Kedai kopi merangkap terapi di Chandra Indah, Jatirahayu, Pondokmelati, Kobek

Sudah lama saya tidak jalan kaki melewati jalan itu, agak jauh dari rumah saya. Ternyata ada kedai kopi. Namun yang langsung terbaca mata saya malam tadi justru tulisan tentang praktik penyembuhan. Tulisan kedai kopi di atas teras kurang terlihat pelintas yang berjalan mepet pinggir jalan segaris kedai.

Saya mendukung pengobatan modern yang rasional dan secara epistemologis dapat dipertanggungjawabkan, namun saya juga tak menyangkal penyembuhan maupun pengobatan alternatif.

Dulu banget waktu kuliah, kaki kanan saya pernah kecengklak di halaman rumah saat berdiri pada suatu malam, lalu saya lemas, hampir pingsan, untunglah teman saya yang sedang menuju motornya setelah berpamitan sigap menahan, kemudian menuntun saya untuk duduk di teras.

Sampai pagi saya lemas dan mual. Tumit hingga menjelang jari kaki kanan bengkak. Lalu ibu saya, yang kebetulan datang ke Yogya, membawa saya ke spesialis saraf di rumah sakit. Di sana kepala saya dicoreti untuk titik penempelan kabel yang terhubung ke sebuah alat. Saya tidak boleh bergerak. Menelan ludah pun dilarang. Pengukuran dilakukan dua kali. Yang pertama gagal karena saya menelan ludah.

Lalu keluarlah hasil di atas continuous form, puluhan lembar terlipat zig-zag, isinya seperti jejak seismografis gempa.

Dokter bilang tak ada masalah kelistrikan di otak saya. Rupanya dia berbekal informasi pradiagnosis dari suster ngeyel, yang meskipun saya koreksi dia tetap mencatat saya jatuh, lalu pusing dan mual. Lalu Bu Dokter bertanya duduk berdiri soal. Lantas dia katakan, “Oooo… bukan tiba-tiba jatuh lalu pusing dan mual to?”

Saya jengkel. Keluar dari ruang praktik tertatih-tatih pincang. Ibu saya waktu itu masih kuat saya pegangi.

Di rumah, saya tiduran setelah minum obat resep. Esoknya saya teringat ada tukang pijat di dekat SD Bopkri Demangan. Di rumah papan bersahaja mirip gubuk itu memasang papan nama “bengkel urat saraf”.

Dengan berjalan kaki terseok-seok sambil memegang pagar orang, saya datangi bengkel sejauh 100 meter dari rumah saya dengan melewati satu tikungan.

Di atas amben bertikar saya tengkurap dan diurut Pak Bengkel. Dia bekerja sambil berdesis dan komat-kamit. Tak sampai satu jam selesai. Saya bisa jalan tanpa terpincang-pincang. Saya lupa ongkosnya, pokoknya murah banget untuk ukuran mahasiswa. Dia menjelaskan, masalah pada kaki saya seperti segenggam kabel yang tiba-tiba disentakkan.

Saat itulah saya merasa memahami psikologi orang sakit dan keluarganya. Apapun caranya yang penting sembuh.

Kedai kopi merangkap terapi di Chandra Indah, Jatirahayu, Pondokmelati, Kobek

Masalahnya, dalam hal apa kita dapat menimbang mana yang aman dan tidak?

Testimoni orang kadang tak cukup. Kalau hanya terkilir, saya percaya pada testimoni orang yang disembuhkan ahli urut yang terbiasa menangani pemain sepak bola, terutama dari klub lokal utama.

Putri saya pernah tergelincir dari tangga di kampusnya, di Bandung. Kaki sebelah bengkak. Sulit berjalan. Akhirnya saudara ipar saya membawanya ke tukang urut yang konon biasa menangani pemain Persib. Pulang dari si ahli itu putri saya bisa berjalan.

Di area saya ada ahli urut — pekerjaan resminya sih tukang listrik — khusus untuk kelumpuhan dan gangguan motorik pascastrok. Suatu siang saya mengejar seorang bapak sepuh setelah saya melihatnya lewat depan rumah saya. Tiga kali diurut dia sudah bisa berjalan setelah lumpuh akibat strok.

“Alhamdulillah, lihat saja, saya sudah bisa jalan. Nggak bisa cepet sih soalnya sebelumnya juga nggak bisa cepet karena usia,” katanya.

Cerita lain? Dua orang yang tak saling kenal bisa berkurang minus matanya setelah dipijit Pak Mul, seorang petani di sebuah desa di Klaten. Teman pertama ketika ke optik langganan untuk mengganti dioptri lensa bikin heran petugas oftalmologis: “Lho kok minusnya jadi kurang banyak, Mbak?”

Kata si Mbak kepada saya, “Aku beberapa kali ke Klaten. Lebih mahal ongkos pesawat Jakarta — Jogja daripada tarif Pak Mul.”

Tetapi saya sering mendengar, kedokteran modern dan penyembuhan alternatif itu soal kecocokan. Beda orang beda hasil.

Pengobatan alternatif semoga efektif

Telapak Petir bukan saudaranya Gundala

Mani encer dan dukungan untuk transportasi publik

Lelakon Terawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *