Poster film berupa lukisan, dan kemudian baliho juga dengan lukisan, pernah mendominasi industri perfilman Indonesia.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Bumi semakin panas, di Kompas dan bioskop

Mungkin pikiran saya yang terpilin, saat melihat judul berita utama koran Kompas tentang perubahan iklim global saya malah teringat judul film Suzanna, Bumi Makin Panas (Ali Shahab, 1973). Padahal saat film itu diputar di bioskop saya tak menontonnya karena saya masih bocah.

Saya teringat hal itu karena judul Bumi Makin Panas juga dibicarakan anak-anak kecil. Kami mendengar orang-orang dewasa membahasnya. Entahlah mereka menonton atau tidak. Selebaran cetak offset berukuran A5, berupa miniatur poster dari versi one sheet (69 x 102 cm), yang dibagikan mobil keliling dengan Toa, menjadi barang berharga.

Kalaupun ada pikiran beraliran BMKG saat itu, kami, bocah-bocah habis sunat sebagai warga sebuah kota sejuk, hanya membayangkan cuaca sangat panas sehingga banyak orang kegerahan. Setelah usia bertambah sedikit, kami meminjam novel Ali Shahab di persewaan buku dan komik. Ternyata…. uh.

Ketika Ali Shahab membuat serial sinetron edukatif untuk TVRI pada 1980-an, disiarkan Minggu siang, teman masa kecil saya tiba-tiba menjadi orang tua nan bijak, dengan mengelus dagu berkomentar, “Kenapa nggak sejak dulu bikin film ginian, ya?”

Poster film Indonesia jadul

Tentang poster film untuk bioskop, yang dipasang di balik kaca, dulu banyak sekali yang memanfaatkan reprografi hasil kerja tangan, yaitu lukisan, bukan yang dalam istilah saat itu disebut montase foto — istilah desain grafis belum populer.

Saya tak tahu bagaimana dulu peran still photographer dalam industri perfilman nasional. Yang pasti, apapun rujukannya, poster montase maupun poster lukisan, semua bioskop menampilkan baliho hasil lukisan tangan dan tampak lebih nyeni. Maklum belum ada cetak digital gambar besar.

Gambar baliho ada yang bagus, dalam arti wajah yang dilukis amat mirip aslinya. Karena SMP saya di depan bioskop Ria, saya sering melihat pegawai bioskop memasang baliho. Saat itulah saya baru sadar, ternyata goresan kuasnya kasar sekali kalau saya amati dari dekat.

Poster film Indonesia jadul

Tetapi seorang kawan saya, kakak kelas berselisih dua tingkat, punya amatan lain. Bodi artis di Ria dan Reksa (zaman Bre Redana puber bernama Rex) berbeda. Juga, “Sing ning Ria nganggo wulu kèlèk, ora kaya ning Reksa.”

Saya mendebat, itu bayangan di lipatan pangkal lengan, digambar secara kasar. Dia tak rela imajinasinya saya mentahkan. Padahal masalah bisa terjawab jika kami melihat filmnya atau atau setidaknya still photo.

Jarak kedua bioskop itu tak sampai satu kilometer. Setiap hari teman saya melewati Reksa. Di sekolah dia membandingkannya dengan Ria.

Saya tak tahu apakah kini baliho ala Bumi Makin Panas masih boleh terpampang di tempat ramai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *