Publik butuh konten gratis yang sesuai minatnya. Mungkin bayar pun mau seperti terhadap streaming musik dan video.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Kisah daun mekai pengganti vetsin MSG

Rasa kelima setelah manis, pahit, asam, dan asin adalah gurih atau umami. Dari Tutur Visual Kompas saya baru tahu bahwa sumber gurih alami yang kuat adalah dari daun mekai (Albertisia papuana Becc.).

Kisah daun mekai pengganti vetsin MSG

Catatan dari liputan di Kutai, Kaltim, tentang kuliner Dayak, ini juga merujuk sebuah laporan ilmiah bahwa mekai memiliki komponen asam aspartat yang lebih tinggi dibandingkan asam glutamat di dalamnya.

Selain glutamat, asam aspartat turut menyumbangkan rasa gurih. Komponen serupa MSG dalam daun mekai lebih tinggi dari daging kepiting, tetapi lebih rendah dari jamur.

Kisah daun mekai pengganti vetsin MSG

Lalu apa yang ingin saya bagikan?

  • Pengetahuan saya telah bertambah tetapi pengalaman merasai hidangan bermekai belum
  • Makin sedikit media berita yang ma(mp)u membuat laporan berkisah dari lapangan dengan disertai foto, video, data, dan infografik
  • Dalam liputan mekai berarti si jurnalis ikut mencari daun dan memasaknya lalu mencicipi rasanya, seperti yang ada dalam kanal TV berbayar maupun gratis yang akhirnya ada di YouTube
  • Konten video dan teks itu saling melengkapi, bagus untuk edukasi, sehingga jika orang bicara kuliner tidak hanya memotret isi piring yang sudah terhidangkan tetapi paham kisah sebelum menjadi santapan, dan itulah yang disebut literasi dalam kuliner

Tentu konten berharga tak hanya datang dari media berita. Dari media sosial pun ada. Gaya memasak dan petualangan Chef Rahung pun memperkaya literasi.

Kekurangan liputan Kompas.id adalah hanya bisa dinikmati dengan membayar. Liputan tentang kuliner Aceh beberapa tahun lalu, misalnya, sangat bagus, bahkan memasukkan seni memasak di hutan pada era GAM bergerilya.

Liputan lengkap itu mahal, apalagi ala Kompas.id, karena merupakan ekspedisi dengan pematangan seminar internal dan studi pustaka yang layak — ingat liputan Cincin Api yang dahsyat? Artinya bukan cuma hasil kreativitas “penulis konten kreatif” sembari ngopi di meja kerja lalu gambar tinggal ambil dari Instagram, dan video tinggal semat dari YouTube dan lainnya. Kalau itu sih kerjaan bloger, seperti saya, cuma buat obat menunda amnesia penulisnya sembari menunggu galon Aqua datang.

Tak semua media daring gratis yang kuat mau melakukan liputan macam itu apalagi yang cekak pendapatan dan tipis bujet karena belum tentu menghasilkan trafik tinggi. Belum lagi kemungkinan footages dan foto eksklusif cuma dipereteli oleh pembuat konten untuk menjadi konten personal dia, tanpa atribusi, namun berpeluang menghasilkan uang.

Semuram itukah nasib media berita dan nonberita?

Bagi saya sih terpulang kepada penerbit dan publik. Belum tentu mayoritas publik butuh aneka konten multimedia menarik, dan semoga penting, seperti disajikan Kompas.id dan sebangsanya termasuk di luar negeri. Di sisi lain mungkin publik juga bersedia membayar asalkan sesuai selera dan minatnya, seperti yang sudah mereka lakukan dengan senang hati untuk melanggani pengaliran musik dan film.

Oh ya, dari BBC kita bisa belajar, apapun latar kelembagaan dan pendanaan mereka. Kalau mau ekstrem ya silakan merujuk National Geographic Society yang berdiri pada 1888. Terlalu mewah dan jauh sih. Mereka punya terlalu banyak hal dengan aneka kanal. Maaf.

Kisah daun mekai pengganti vetsin MSG

Namun ada satu hal yang kita sadari: lanskap media telah dan terus berubah, dengan pacuan hasil lebih kencang, demikian pula kebiasaan kita dalam memperlakukan informasi apalagi setelah AI terus melesat, bukan hanya melaju.

MSG, rasa kelima, dan panas tenggorokan

Jangankan bayar, berita gratis saja enggan baca

5 thoughts on “Dari daun mekai si umami alami, lalu melamunkan media hari ini

  1. Dahulu kala, saat saya masih bekerja di media berita online, bos saya “menertawakan” Cincin Api karena, menurut dia, pembacanya cuma sedikit — sangat jauh di bawah jumlah konten media kami kala itu.

    Beberapa hari lalu, mantan sejawat saya di sebuah kantor media online bilang dengan nada kesal bahwa, “bos-bos di Jakarta itu di otaknya cuma ada pageview.”

      1. Mestinya begitu, Paman. Tapi, mereka kan lebih mementingkan views dan clickbait biar webnya ramai dan jadi cuan. Dan nulisnya jadi asal2an karena mereka mau cepat tayang artikelnya.

        Tapi, buatku juga yang bikin malas baca media gratis itu iklannya bejibun. Apalagi kalau baca di hp. Ganggu banget. Terus suka sebel sama judulnya yang nipu. Judulnya apa, eh isinya apa. Beneran clickbait. Jadi aku gak mau lagi baca dari media seperti itu. Ada trust issue ke mereka. Wkwk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *