Mungkin ada yang menganggap orang Jakarta dan sekitarnya itu berlebihan dalam merayakan langit biru.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Langit biru di Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi, Jabar

Tak ada yang baru dengan langit biru. Sejak kecil kita. Langit biru adalah bagian dari kesadaran manusia. Semasa bocah kita birukan langit saat menggambar pemandangan karena anak kecil tidak dibiasakan menggambar cakrawala jingga senja apalagi langit hitam sebagai latar malam.

Sejak kecil kita akrab dengan langit biru, kita terima sebagai kewajaran nan indah dalam hidup keseharian. Ada latar “di langit biru” dalam lirik lagu “Pelangi” (A.T. Mahmud) setelah “merah, kuning, hijau”.

Langit biru. Bukan hal baru. Tetapi jujur saja, di Jabodetabek aku jarang mendapatkan langit biru. Karena cuaca, musim, jam saat memperhatikan, dan mungkin polusi. Aku ingat seorang fotografer yang memanfaatkan pagi Lebaran bercuaca cerah untuk memotreti gedung di kawasan bisnis Jakarta. Langitnya bersih, katanya.

Langit biru di Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi, Jabar

Langit biru. Bukan hal baru. Kadang pada pagi cerah, dulu sekali, likuran tahun silam, ketika mobil belum sebanyak sekarang, pandangan mataku dari jalan tol Cawang – Priok ke arah pusat kota menampakkan lansekap pucuk menara beton berlatar biru bersih.

Langit biru. Bukan hal baru. Pun sebagai slogan kampanye lingkungan. Ya, bukan hal baru. Tapi media sosial merekam kesaksian visual warganet setiap kali mereka mendapati langit biru di Jabodetabek. Mereka merayakannya. Warganet, katakanlah di Indonesia tengah dan timur, tak melakukannya sesering orang Jakarta Raya yang rumahnya rapat dengan rumah tetangga dengan secuil halaman terbuka. Langit biru bagi mereka yang di luar Ibu Kota adalah kewajaran. Dari hari ke hari. Kecuali mendung dan hujan.

Pagi tadi, sekira pukul sepuluh, aku melangkah ke luar rumah untuk menaruh kantong sampah di depan pagar. Tebar mataku mendapati langit biru. Cukup aku abadikan sebagian langit itu dalam pembekuan momen. Langit bukan bidang dominan dalam bingkai. Entah kenapa aku merasa senang dan bersyukur. Serasa kesadaran baru telah berimbuh: aku masih memperhatikan hal tak penting dan kadang merenungkannya. Apakah hanya pengangguran yang begitu?

Siang ini, sekarang, pukul sebelas, saat aku tulis ini, disela ini dan itu, langit biru sudah memudar. Diisi awan. Di cakrawala selatan awannya kelabu.

2 thoughts on “Langit biru, bukan langit baru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *