Pagi ditemani kue jahe kering hampir kedaluwarsa dan kopi, Kamsi menanya suami, “Masa sih, Rafael mendadak miskin? Uang kes Rp45 juta buat THR para asisten disita. Mas percaya?”
“Ya,” sahut Kamso.
“Sampe makan pun dapet dari tetangga?”
“Percaya. Berarti neighborhood bagus, lingkungan makmur belum tentu selfish individualis egoistis.”
“Bayar listrik semua rumah juga ditalangi orang lain?”
“Mungkin.”
“Masa sih sampe nggak punya duit? Kulkas gede cuma bisa dimanfaatin freezer-nya dong! Kayak kita, kulkas satu pintu sering lega.”
“Kan semua rekening diblokir? Andi Mallarangeng dulu malah sampe rekening tabungan anaknya diblokir.”
“Masa sih nggak ada yang ngisi e-wallets mereka dari hape baru dan nomor baru?”
“Itu mah dikit plafonnya. Nggak cukup buat belanja harian.”
“Kenapa nggak jual jam tangan, cincin, atau tas sama perhiasan istri? Mas jual sepeda mas dan anak-anak ke teman. Aku sih udah nggak punya perhiasan. Tapi jual tas belum pernah, soalnya tasku nggak layak jual. Ori sih, Tajur punya.”
“Napa sih rafael eh rewel, Jeng? Percaya ajalah. Asas praduga tak bersalah. Berbahagialah mereka yang tak melihat namun percaya. Rafael juga percaya itu. Mungkin bagi dia inilah salibnya. Apalagi ini dalam suasana Paskah. Kita jangan suka memfitnah. Kudu banyak berpantang, dari membatasi makan kecuali diberi tetangga sampai menghindari gibah dan fitnah.”
“Huh! Slogan. Lamis. Jarkoni!”
¬ Hak cipta gambar praolah belum diketahui