↻ Lama baca < 1 menit ↬

Anak SD ngopi di sekolah

Saya memang kadang lancang, secara impulsif bisa nimbrung obrolan orang padahal tak kenal. Misalnya siang ini, di sebuah warung pinggir tikungan, seorang ibu dan seorang bibi sedang menanggap seorang bocah. Saya tak tahu nama bocah itu, jadi sebut saja Tongki, ternyata kelas empat SD.

Saya dengar sang ibu memeluk anaknya dan bertanya, “Terus kamu tadi di kelas ngantuk gimana ngilanginnya?”

Tongki menjawab, “Ngopi, Bun!”

Seisi warung, yakni dua ibu dan seorang pengudap yang akrab dengan keluarga itu, pun tertawa. Saya ikut nimbrung, berkomentar, dan mereka pun membiarkan. Kehadiran penjual pecel yang telah saya kenal untuk ikut nimbrung menjadikan saya tak merasa sebagai orang asing.

Singkat cerita, tadi pagi di kelas anak itu mengantuk. Lalu dia dan seorang temannya punya ide membeli kopi saset. Uang bekal Rp10.000 habis. Yang Rp2.000 buat beli buku, lalu Rp3.000 buat kopi berikut gula untuk berdua, sisanya untuk infak.

Saya bertanya, “Adik nyeduh kopinya di mana?”

“Kantor guru,” jawabnya.

Jawaban sama untuk pertanyaan minum di mana. Saya tanya lagi apakah tak ada yang melihat, jawabannya, “Gurunya lagi nggak ada.”

Baru pertama kali Tongki minum kopi. Di rumahnya juga menjual kopi saset, bisa diminum di tempat, tetapi dia belum pernah merasakannya.

Kata ibunya, Tongki tak terbiasa dengan bemacam minuman. Bahkan minum Nutrisari dan minuman botolan yang dijual ibunya, dia bisa sakit. “Lebih mahal ongkos dokternya, Oom,” kata si ibu. Maka dia nasihati Tongki, “Entar jangan diulangi ya.”

Kemasan kopi setahu saya tak memuat batasan usia peminum. Tetapi saya saat SD tak minum kopi. Ketika SMP beberapa kali ngopi, karena disuguhi di desa atau saat berkemah. Setelah kuliah, jika saya pulang ke rumah Salatiga, Ibu selalu membuatkan kopi pagi.

Anda menyukai kopi sejak usia berapa?