Sertifikat seminar itu penting. Apapun topik dan acaranya. Sertifikat kompetensi profesi? Amat penting.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Sertifikat seminar itu penting, jangan dianggap remeh

Setelah membaca undangan webinar gratis bersertifikat, saya pun teringat seseorang yang menanya saya apakah sertifikat sebagai peserta seminar itu penting. Saya jawab penting jika ada pihak yang menganggapnya penting, misalnya perekrut tenaga kerja. Memang sih banyak perekrut yang tak peduli.

Saya? Pernah punya, tanpa saya minta, setelah ikut penataran di Cilangkap, Jaktim. Jika menyangkut nama saya dalam sejumlah sertifikat, memang ada, berupa tanda tangan pemberi. Itu untuk program pelatihan kecil di beberapa kota, yang supaya keren kami namai workshop, pesertanya anak SD sampai lansia pensiunan, gratis.

Orang bagian bisnis membuat sertifikat untuk gimmick. Dengan tertawa geli saya penuhi permintaan itu. Bagaimana nasib dan nilai kagunan surtipikat yang saya tanda tangani, saya tak mencari tahu.

Untuk lingkungan birokrasi, dan juga lembaga pendidikan, aneka sertifikat itu punya nilai dalam karier. Yang lebih tinggi nilainya tentu sebagai pemrasaran, bukan peserta yang boleh hadir sambil terkantuk-kantuk.

Lalu sertifikasi? Ini nama proses pengujian kompetensi suatu profesi oleh lembaga yang punya otoritas — biasanya diakui oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Juru las (welder) dan operator crane juga perlu sertifikasi, begitu pula wartawan dengan kompetensi profesi jurnalistik yang diakui Dewan Pers. Yang menjadi masalah, kertas yang mirip piagam itu juga berjudul “sertifikat”, namun biasanya ada imbuhan “kompetensi”.

Memang sih ada piagam sertifikasi wartawan yang ternyata palsu (¬ Berita PWI, 2020). Bukan hal aneh mengingat formalitas dokumen bisa dimainkan di Indonesia. SIM bisa nembak. Surat bukti vaksinasi Covid-19 dan PCR untuk naik bus AKAP bisa dibagipinjamkan oleh kondektur. Bahkan ijazah perguruan tinggi bisa didapatkan tanpa standar mutu maupun etika akademis.

Kembali ke ke soal sertifikat seminar dan sebangsanya, untuk pemateri maupun peserta: apakah semuanya berbobot? Belum tentu. Tetapi hal itu tak merugikan masyarakat, kan? Kalau palsu, seremeh apapun acaranya, itu mengarah kriminal. Minimal tidak etis.

Kalau membuat sertifikat atau piagam sendiri, padahal acaranya fiktif? Buat saya bukan masalah, asalkan tak mencatut nama orang dan lembaga beneran. Untuk mempertegas bahwa itu iktif sebaiknya memiliki unsur ngaco, misalnya 30 Februari. Teksnya kecil, tak langsung terbaca. Buat apa barang gituan? Iseng. Dibingkai. Dipajang.

Oh ya, Anda pernah dengar seseorang yang sebenarnya mampu tetapi gugur pada tahap diwawancarai perekrut karena dia jarang ikut seminar?

“Jadi Anda jarang ikut seminar dan lokakarya? Nggak punya sertifikat dong?”

“Ya. Apa boleh buat.”

“Kenapa nggak ikut seminar?”

“Nggak minat.”

“Tapi kata orang yang tanpa setahu Anda kami hubungi, sebenarnya Anda lumayan aktif seminar. Malu ya karena nggak bergengsi?”

“Nggak juga. Bukan soal gengsi. Yang pasti info Anda itu nggak valid.”

“Lalu apa yang valid tapi Anda sembunyikan?”

“Saya nggak menyembunyikan. Sekarang terpaksa saya bilang. Saat masih mahasiswa pun saya sudah menjadi pembicara seminar bukan untuk mahasiswa, dan menjadi pemateri sekaligus instruktur lokakarya dua bulan untuk orang-orang yang lebih tua dari saya, dari sekian provinsi dan pulau, di bawah supervisi NGO internasional.”

Dia tak diterima karena dianggap tertutup, kurang respek terhadap apapun, dan tidak kooperatif.

Hobi kok ikut seminar apa aja

Gelar akademis itu penting, cara memperolehnya juga

2 thoughts on “Sertifikat seminar dan sertifikasi

  1. Saya lupa apakah setelah mengikuti workshop tentang peliputan dan penulisan mengenai AIDS di kantor Bang Hadi sekian puluh tahun di Yogyakarta saya diberi surtipikat. Kalau diberi, bermanfaat sebagai BB (barang bukti) ke kantor.😁

    BTW kisah di akhir konten di atas itu fiktif apa nyata, Paman?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *