Polder yang sudah rampung tetapi belum berfungsi itu saban hari ramai pemancing. Secara sok tahu saya menduga banyak joran anyar. Mestinya saya mengecek ke satu dua toko pancing dalam radius tiga kilometer dari polder.
Maka saya juga menduga banyak pemancing baru. Suatu malam, seorang pria pemilik warung di samping polder pernah saya pergoki sedang memancing. Saya tanya apakah suka memancing, jawabannya, “Nggak. Iseng aja ngikutin orang-orang.”
Sepuluh menit kemudian, sekeluar saya dari Alfamart, saya lihat si bapak sudah duduk di terasnya. Saya tanya, apakah sudah mendapatkan ikan, dia hanya tertawa.
Sudah tiga empat kali saya melewati warungnya setelah kejadian tadi, dan melihat dia. Pertanyaan saya tetap, “Nggak mancing, Pak?” Jawaban dia konsisten, diawali tawa kecil, lalu, “Nggak! Males!”
Banyak pemancing, bisa sampai empat puluhan orang, anak-anak maupun dewasa, bahkan saat gerimis kepyur, pagi hingga malam, tentu orang-orangnya sudah berganti, tetapi pada jam sekolah pagi juga banyak anak memancing, mungkin mereka bersekolah petang, sejauh saya lihat hanya sekali terdengar seruan girang karena seseorang mendapatkan lele.
Ketika saya menyusuri trotoar polder, tadi malam, hanya sekali saya lihat orang yang meletakkan seekor lele tak bergerak hasil pancingan di sampingnya.
Seorang pemancing bilang kepada seorang pelintas, “Di sini gratis, kagak pake bayar kayak di empang sono.” Di area saya memang ada empang berbayar.
Harga sekilogram lele sekitar Rp27.000. Bayar, bawa pulang. Tiga jam jongkok maupun bersila di belakang pagar polder belum tentu beroleh lele.
Tetapi duduk manis di rumah sambil WhatsApp-an atau ngeblog via ponsel juga nggak dapat lele — bahkan misalnya sampai tiga jam sekalipun. Dapet duit juga kagak.
3 Comments
Ngeblog via ponsel sambil mancing lele mungkin perlu dicoba Paman.😬
Takut kalau tertidur
😂