Pematusan, bukan pemutusan — saya baru tahu

Dari tulisan pada karung di atas got kita dapat belajar bahasa. Pematusan bukan pengatusan, bukan pula pemutusan. Lho?

▒ Lama baca < 1 menit

Arti pematusan, pengatusan, maupun pemutusan

Tentang bahasa, dalam usia saya sekarang, ada dua persoalan. Ada kata dan istilah tertentu mulai terlupakan karena jarang menemuinya dalam tulisan maupun mendengar dari tuturan orang. Ada juga yang belum pernah saya kenal, padahal ternyata sudah lama, sehingga saya menganggapnya istilah baru. Misalnya kata “pematusan”, bukan “pemutusan”, yang saya lihat pada karung endapan got.

Saya cari di KBBI, kata jadian itu tak ada. Sehingga mencoba menerka kata dasarnya, yakni “atus”. Ternyata ada.

Arti pematusan, pengatusan, maupun pemutusan

KBBI menandai kata “atus” dari bahasa Jawa. Benarkah? Dalam bahasa Jawa, menurut Bausastra W.J.S Poerwadarminta, “atus” itu serupa “ratus” dalam bahasa Indonesia, yakni satuan bilangan — seratus, dua ratus, dst. Memang sih “ratus” juga berarti dupa.

Jika yang dimaksudkan adalah menghabiskan kandungan air sebuah benda dengan membiarkannya menetes, itu disebut “tus”. Maka orang Jawa mengucapkan “dituské” atau “ditusaké” dan “ngetuské” serta “ngetusaké“.

Walakin “pematusan” tak ada dalam KBBI — dan tentu berpijak pada kata dasar “atus” ada “pengatusan” dalam KBBI — pemerintah, termasuk Mahkamah Agung, menggunakan kata “pematusan” dalam urusan pekerjaan umum.

Kamus Pekerjaan Umum

Merujuk pemerintah, media juga memungut “pematusan”. Namun dalam Kamus Istilah Bidang Pekerjaan Umum (Departemen Pekerjaan Umum, 2009),tak saya temukan “pematusan”.

Arti pematusan, pengatusan, maupun pemutusan

Kesimpulan saya, bahwa “pematusan” adalah kata tak baku, bisa saja salah tersebab saya tak tahu latarnya. Saya terbuka terhadap koreksi.

Eh, nanti dulu. Menurut Kepala Bidang Tata Air Dinas Bina Marga dan Tata Air Kota Bekasi Dicky Irawan, “Pematusan artinya mengalirkan, permasalahan banjir di Kota Bekasi juga disebabkan saluran tersumbat sampah.” (¬ Republika, 2016)

Moral ceritanya apa? Dari got kita bisa belajar bahasa. Saya melihatnya tadi, sepulang dari warung membeli asam jawa — ya, “asam jawa”, bukan “asam Jawa”, untuk Tamarindus indica.

Tinggalkan Balasan