Bunga tumbuh di buk. Eh apa, buk?
Buk. Saya tak tahu apa bahasa Indonesianya. Buk itu bahasa Jawa. Salah satu artinya adalah pagar tembok rendah, bisa untuk duduk atau menyadarkan pinggang sambil berdiri. Dalam Kamus Istilah Bidang Pekerjaan Umum (Departemen Pekerjaan Umum, 2009), tak saya temukan lema “buk”. Adapun Bausastra Jawa W.J.S. Poerwadarminta tak mengangkut kata “buk” dalam arti tersebutkan tadi.
Saya teringat kata buk saat melewati sebuah rumah dengan buk di depan bekas warung di bagian samping bnngunan. Ada tanaman tapak dara (Catharanthus roseus) tumbuh di rekahan buk. Setiap pagi pemilik rumah, ataupun tetangganya, sudah sepuh, duduk di atas buk itu.
Kemudian dari Kamus Bahasa Jawa – Indonesia I (Depdikbud, 1993)saya dapatkan “buk” sebagai tembok rendah. Saya tak tahu dari mana bahasa Jawa modern memungut kata tersebut. Dari bahasa Belanda “brug” yang berarti jembatan?
Meskipun kamus tersebut menyebut “pagar jembatan”, saya tak menemukan “buk” dalam Buku Saku Petunjuk Konstruksi Jembatan (Kementerian PUPR, 2021).
Kalau di Salatiga, Jateng, ada tetenger (landmark) bernama Buk Suling, bahkan menjadi nama jalan. Titian di atas kali itu oleh Binamarga dinamai Jembatan Buk Suling.
Di SEAlang Javanese Corpus, “buk” yang bisa diduduki juga ada. Dalam berita di Malang, Jatim, kata buk juga ada.
Kata buk mengingatkan saya pada bak buk. Dulu Mas Wendo sering pakai istilah bak buk (atau bakbuk?) untuk padanan kata break event point (BEP). Bak buk alias impas.
Saya dengar istilah bakbuk dari seorang petinggi BCA dalam suatu forum terbatas. Dia anaknya pemilik BCA. Lha kan ortunya orang Kudus.