Piring bersih, makanan habis

Warung Padang ada di mana-mana. Umumnya lidah orang Indonesia yang non-Minang dapat menerimanya.

▒ Lama baca < 1 menit

Warung Padang Takana Juo, Jalan Raya Kodau

Belum terlalu malam, masih sekitar pukul tujuh seperempat, tetapi etalase warung Padang langganan saya sudah bersih. Hanya ada tumpukan piring putih kosong.

Tentu piring dan mangkuk porselen itu bersih karena selalu diseka serbet. Meskipun bersih, semua ajang itu bukan untuk menampung lauk. Semuanya hanya untuk tatakan bagi piring yang lebih besar. Pada piring besar itulah lauk diletakkan.

Warung Padang Takana Juo, Jalan Raya Kodau

Memang demikian gaya warung Padang — maksud saya kedai Minang, penjualnya tak harus dari Padang maupun Padang Panjang, Sumbar. Ya,serupa pedagang sate Solo di Jabodetabek. Mungkin mereka orang Boyolali, Jateng. Memang sih Boyolali merupakan bagian dari aglomerasi Solo Raya.

Warung Padang Takana Juo, Jalan Raya Kodau

Gaya penataan piring di etalase itu disebut palung. Adapun akrobat pramusaji membawa banyaknya piring dan mangkuk ke meja pengidap disebut manatiang piriang. Namun saat membereskan meja, ada di antara mereka mengangkut piring dengan troli.

Lalu tadi karena makanan habis, saya makan di mana? Ya ke warung Padang yang lain, lebih sempit (foto bawah), sayang tak seenak warung langganan saya. Kalau masakan Minang paling enak di Jakarta? Menurut saya sih Pagi Sore, asalnya dari Palembang, Sumsel. Sayang sekali makin mahal.

Warung Padang Jaso Bundo, Jalan Raya Kodau

View this post on Instagram

A post shared by MEMOMEDSOS (@memomedsos)

Lowongan palung di rumah makan padang

Salero Akrobat Pramusaji Minang

7 Comments

Pemilik Blog Sabtu 18 Februari 2023 ~ 14.49 Reply

Oh gitu ya, milik Pak Juragan Koran? 👍

junianto Sabtu 18 Februari 2023 ~ 16.16 Reply

Itu informasi dari kawan yang saat itu mengajak makan bersama. Kawan saya ini lebih tua daripada saya, dan senior saya di harian Surya. Saat itu saya reporter Surya Biro Jakarta.

O ya awalnya Surya (lama) diambilalih Persda dan Pos Kota, kemudian jadi harian Surya. Belakangan saham Pos Kota dibeli Kompas, miliaran rupiah.

Pemilik Blog Sabtu 18 Februari 2023 ~ 17.52 Reply

Dulu pada era SIUPP, penerbit kecil msh punya posisi tawar, ditambah ada kebijakan dari Harmoko atas permintaan para juragan kecil agar penerbit besar sbg investor scr bisnis msh memberikan keuntungan pada mereka. Dan kita tahu, ada yang lancar dan ada yang penerbit kecilnya nakal. Eh tapi ini kan posting rumah makan 🙈

junianto Sabtu 18 Februari 2023 ~ 18.58

Abad lalu PP Surya, Ibu Mardiyati (sudah sedo sekian tahun silam), adalah adik Harmoko.

Iya, ini posting tentang rumah makan, lho. 😁

Pemilik Blog Minggu 19 Februari 2023 ~ 14.34

Kita tahulah Harmoko dan keluarganya masuk ke mana saja, termasuk Ali Usodo. Bahkan mereka sempat masuk ke pemegang saham The Jakarta Post yg dimodali Tempo, Kompas, Sinar Harapan, dan Suara Karya. 🙈

Mari makan. Ini soal makanan kan?

junianto Sabtu 18 Februari 2023 ~ 13.39 Reply

Pagi Sore, saya pernah diajak makan di Pagi Sore di Jakarta tapi saya lupa lokasinya, bersama beberapa orang, antara lain Pak Tahar (salah satu pendiri koran Pos Kota, dan orang-orang biasa menyebutnya bos Pos Kota). Kabarnya, Pagi Sore tempat kami makan itu milik Pak Tahar.

Tinggalkan Balasan