“Maaf nih, obat kuat tuh ngefek nggak sih, Oom?” tanya Charlie Roket, bapak muda usia 31. Nana Alamanda, lajang 30+, terbahak-bahak.
Kamso menyahut, “Belum nyoba tuh.”
Anak-anak muda bekas anak buah Kamso tertawa. “Napa Oom, udah kuat ya?” sergah Tati Peyek.
“Nggak tau, pokoknya nggak ada komplain buat saya dari users, eh user. Pujian juga nggak ada.”
“Ih, istilahnya! Najis! User apalagi users! Emang hape, Oom?” tanya Sisil Meranti.
Lalu Kamso lebih banyak mendengarkan diskusi bagaimana para penjual afrodisiak dibiarkan masuk dalam iklan programatik oleh media berita daring, padahal banyak yang vulgar, apapun rekam jejak cookies peramban.
Akhirnya Charlie bertanya, “Oom ada temuan menarik?”
Kamso bilang, di lapak lokapasar maupun laman web biasanya ada tangkapan layar testimoni konsumen via WhatsApp. Taruh kata itu rekaan pun tak ada yang memasukkan testimoni perempuan, dengan catatan, “Ada maupun nggak ada perempuan yang order buat pasangannya.”
Lalu Kamso meneruskan ceramahnya, “Kalo testimoni itu palsu, kenapa pedagang nggak bikin testimoni dari perempuan sebagai pemetik manfaat khasiat? Artinya waktu ngapusi pun tetap dalam alam pikir patriarki: seks lelaki kuat itu untuk dirinya, pasangan cuma pelengkap pembuktian.”
“Tapi,” Nana menyela, “ada tuh seleb cewek yang di YouTube bangga ama libidinous hubby, mungkin sekalian bangga di usia mateng masih memikat dan bisa ngimbangin lakinya. Terus habis itu ada kasus KDRT….”
“Beda urusan dong. Banggain kehidupan seksual itu satu hal, dan KDRT itu hal lain, itu pasal kriminal,” sahut Kamso.
¬ Gambar praolah: Freepik, Unsplash
1 thought on “Perempuan sebagai pelengkap dalam promo obat kuat”