Saya sudah beberapa kali menerima artikel panjang perihal nokturia, atau bolak-balik pipis pada malam hari saat tidur, di grup WhatsApp (WA). Anda pasti juga pernah. Biasanya artikel panjang, serius maupun guyon, tak jelas sumbernya.
Ada sih yang agak jelas dan jelas. Agak jelas itu memuat nama penulis, misalnya Dokter Siapa, tetapi kadang kalau kita cari nama dokter tersebut, apalagi spesialis, tak terjumpa. Adapun yang jelas, memuat nama penulis dan URL.
Tetapi yah sudahlah, memang begitulah literasi media: orang gemar meneruskan pesan, termasuk yang tak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika menyangkut politik dan sentimen negatif isu rasial dan keagamaan.
Tentang tulisan panjang, mula pertama umumnya hasil salin dan tempel. Seberapa panjang teks nokturia, yang tak menyesatkan itu, sila lihat hasil perhitungan Word Counter. Teks sepanjang itu juga dapat menjadi posting blog. Atau mungkin teks ini dari blog? Saya malas mencari tahu.
Namun ada juga teks panjang hasil menuliskan sendiri di WA. Di grup tertentu ada. Misalnya di grup yang salah satu dari enam adminnya pernah mencemplungkan saya sebagai anggota. Di sana ada seorang penulis esei bertopik apa saja, dari musik, sastra, filsafat, wayang, kultur pop, kebijakan publik, politik, sampai sepak bola.
Kenapa tak di Facebook atau blog, tanya seorang warga grup. Dia menjawab lebih suka WA. Mengetiknya di PC. Padahal anggota grup kecapaian membacanya. Lalu ketika tiba-tiba muncul interupsi berupa topik yang sama sekali berbeda, lebih ringan, dan kadang konyol, langsung meriah tanggapannya.
Di grup WhatsApp, seperti halnya milis pada masa lalu, orang memilih tak merespons maupun tak bereaksi terhadap posting tertentu sebagai bentuk pernyataan sikap.
Kata seorang anggota, grup WA itu kemudian senyap. Sudah setahun ini. Entahlah sang eseis pindah ke ladang mana. Secara pribadi saya tak mengenalnya. Bahkan mayoritas dari 40-an anggota itu tak saya kenal.
Selama di sana saya pasif. Mirip pemain ketoprak, kalau dipanggil baru nongol ke pentas. Saat muncul pun belum tentu ditanggapi padahal sebelumnya menanyakan saya.
Kenapa saya sejak pertama tak menolak dibenamkan ke sana? Sungkan. Tetapi akhirnya saya pamit kepada grup.
2 Comments
Dulu saya jadi anggota grup WA yang isinya mantan wartawan sebuah koran, percakapan grup didominasi dua orang yang isi percakapannya, menurut saya, tidak mutu, njelehi, ndembik.
Saya sempat bertahan lama di sana karena kalau mau keluar sungkan karena di grup itu ada juga mantan Pemred saya (belum pensiun/masih aktif di koran lain yang satu grup) dan ada mantan direktur kelompok (pensiun sejak beberapa waktu lalu).
Tapi akhirnya saya muak tingkat dewa terhadap postingan dua anggota grup itu, dan akhirnya keluar tanpa pamit. Belakangan saya tahu, beberapa kawan sebenarnya juga muak tapi bertahan karena sungkan terhadap dua mantan bos kami itu.
BTW saat anak saya positif covid sehingga harus isoman 10 hari, lebih dari sebulan lalu, saya keluar (dengan pamit) dari lima grup WA karena mau fokus urus anak. Setelah anak sembuh, sampai hari ini saya belum masuk lagi ke lima grup tersebut. Mau sy bikin konten blog tapi tertunda melulu.😁
Waduh waduh waduh 😁🙈
Ya begitulah grup WA