↻ Lama baca < 1 menit ↬

Carport itu kosong setelah mobil keluar, istri mengantar anak ragil ke tempat mangkal bus Transjabotabek sejauh tiga setengah kilometer dari rumah. Lalu tampaklah sorotan sinar pagi pada tembok. Saya arahkan ponsel. Klik.

Pagi yang hangat. Menurut prakiraan cuaca, siang nanti sekira pukul satu hujan. Semoga demikian. Jika tidak, panas mentari akan memanggang hari hingga senja, dengan pelengkap bernama gerah.

Sinar pagi. Kebetulan saat mengetik posting di ponsel, algoritma Spotify tanpa saya suruh memainkan “Bound for Infinity” dari Renaissance. Warm sun shining through seagulls wings / Makes mottled patterns upon the sea. Padahal saya di pedalaman, bukan di pantai dengan camar terbang berkitar.

Padahal lagi, saat memotret saya teringat lagu masa kecil dari Bee Gees. Saya dahulu menyangka judulnya “Good Morning Mister Sunshine”. Ternyata “Lonely Days”.

Sinar pagi. Mengingatkan saya pada nama koran lama, yakni Sinar Pagi, yang pada era SIT lalu SIUPP Orde Baru identik dengan orang Batak. Edisi daring koran ini masih terbit.

Sinar Pagi mengingatkan saya kepada Sentana dan koran lain yang daging papan namanya menghiasi belakang pagar percetakan Golden Web Offset di Jalan M.T. Haryono, Tebet, Jaksel. Percetakan itu sekarang menjadi Signature Park Apartment, berseberangan dengan Kao Indonesia yang oleh kernet bus kota dahulu disebut Dino, merek detergen pesaing Rinso.

Lalu apa manfaat cerita melantur ini bagi pembaca? Maaf saya sedang merawat ingatan yang terpantik dari sorotan sinar matahari pagi pada tembok carport. Itulah salah satu cara mengerem amnesia.