Menempatkan diri sebagai anak: “Ini adalah…”

Kemampuan deskriptif eksplanatif adalah bekal setiap penulis, termasuk jurnalis. Apakah konsumen media sudah terpuaskan?

▒ Lama baca 2 menit

Beraneka wadah buah di kios penjual

Sebelum menghapus kedua foto dalam ponsel, mendadak muncul ide saya untuk mencoba kembali jadi bocah. Hasilnya seperti gambar di atas.

Kedua foto perlengkapan penjual buah itu saya jepret pada hari yang sama, di lokasi berbeda, tiga hari lalu. Foto pertama, di kotak kiri, terjadi karena saya terkesan oleh tulisan pada boks karton jingga: jeruk Berastagi. Lokasinya di depan sebuah warung soto.

Boks karton jeruk Berastagi

Adapun foto kedua, di kotak kanan, adalah hasil menjepret kios tetangga penjual kelapa muda langganan saya. Saya terkesan oleh keranjang bambu itu karena teringat sampul album Guns N’ Roses: Chinese Democracy.

Keranjang bambu Guns N' Roses Chinese Democracy

Sebelum menghapus kedua foto itu, saya mendapatkan pengalaman visual: ternyata ada sekian jenis wadah buah sekali pakai, untuk pengiriman.

Dalam tugas anak SD, mengumpulkan gambar sebagai bahan bercerita secara lisan dalam kelas itu akan menjadi bahan amatan guru tentang kemampuan berkomunikasi secara verbal si anak berikut perkembangan kognitif dirinya serta daya imajinasinya. Dari sebuah gambar kotak karton jeruk, seorang anak dapat bercerita banyak.

Tentang kemampuan berkomunikasi secara verbal, saya ingat topik hangat belakangan ini, yakni speech delay atau keterlambatan berbicara pada sebagian anak. Kenapa bisa?

Peranti elektronik menjadi kambing hitam. Saat tidak didampingi orangtua, sejumlah anak terbiasa dengan televisi yang disetel oleh, misalnya, pengasuh anak dan ART.

Lalu muncullah peranti digital, yakni konsol gim dan ponsel dan atau tablet, dengan konten yang interaktif. Namun tanpa diimbangi kesempatan berbicara dengan orang lain, terutama orangtua, kemampuan berkomunikasi verbal sebagian balita bisa terhambat.

Dari kacamata orang dewasa, si anak hanya bisa tertawa riang berguling-guling dan saat lain menangis marah sambil bersuara tak jelas, membanting kaki pula.

Bahasa adalah alat kesadaran. Maka kosakata anak kecil berbeda dari orangtuanya. Tentu kosakata, apalagi yang spesifik, bertaut dengan pengalaman dan kedekatan seseorang dan suatu masyarakat terhadap objek.

Misalnya, jika menyangkut kelapa, dalam bahasa Jawa ada sebutan spesifik: glugu, blarak, janur, bluluk, cengkir, krambil, degan, kelapa enom, manggar, dan seterusnya. Tetapi hanya orang Jawa di desa yang dapat membedakan hal itu sekarang.

Keranjang bambu sekali pakai untuk mengirimkan buah

Kemampuan dalam memerikan atau mendeskripsikan suatu hal ada pada setiap orang dengan keragaman khazanah kata. Sebetulnya bukan hanya kata tetapi juga makna setiap kata. Dalam tradisi lisan, dalang wayang kulit dan pendongeng adalah contoh orang dengan bejana kata dalam dirinya. Untuk penulis, terutama sastrawan, juga sama.

Hanya sastrawan? Tidak. Ini untuk semua orang yang berurusan dengan penuturan verbal, yang dalam kehidupan akademis, dan undang-undang, lebih ketat — mencuri dan merampok itu berbeda.

Maka protes seorang duda muda yang pernah berskandal asmara dengan ibu mertuanya, karena dalam putusan sidang perceraian di pengadilan agama disebut “digelandang atau diarak bersama-sama oleh warga ke kediaman ketua RT”, lalu dikutip media, bisa dimaklumi.

Putusan cerai pengadilan agama krn suami serong dengan ibu mertua

Dia tak mengalami perlakuan tersebut, tetapi tidak memprotes dalam persidangan karena tak hadir. Mantan istri berkilah, itu adalah kata-kata dari pengacaranya.

Lalu? Mari mundur ke soal awal. Kemampuan verbal adalah tahap pertama: menemukan kata untuk menyatakan maksud. Lalu kemampuan deskriptif adalah tahap verbal berikutnya: dapat menuturkan maksud dengan kalimat yang jelas.

Dahulu dalam sebuah pelatihan calon wartawan ada materi seperti tugas kliping anak SD di atas: mengidentifikasi lalu mendeskripsikan setiap benda dalam gambar. Bedanya, gambar sudah tersedia dalam buku modul.

Lalu jika menyangkut deskripsi dalam media berita bagaimana? Saya punya contoh peristiwa seorang pria Bekasi, Jabar, yang jarinya menjadi korban lem kuat.

Coba Anda bandingkan berita di Kompas.com, Tribun Bekasi, dan Radar Bekasi. Apa sih yang terjadi sehingga pria itu, Agung Sudjatmiko, minta tolong petugas di markas damkar: antarjarinya lengket, ataukah salah satu bahkan dua jarinya terekat dengan wadah lem entah tube entah botol?

Jari pria Bekasi jadi korban lem super

Ini bukan persoalan sudut pandang (angle) pelapor dalam memberitakan peristiwa sederhana, dari sumber yang sama, sehingga isi berita mirip semua, melainkan cara bertutur melalui tulisan deskriptif dan eksplanatif. Kemampuan imajinatif dan observasional dari meja kerja pun diperlukan.

Gaya TvOne dalam berita Brigadir J dan Ferdy Sambo

4 Comments

Pemilik Blog Sabtu 14 Januari 2023 ~ 10.57 Reply

Betul. Ini penyakit lama. Bahkan sebelum era komputer berita ditik dengan tembusan melalui karbon.

Dalam kasus lem, sumbernya keterangan lisan, yang dikutip secara verbatim, apa adanya. Atau mungkin bukan keterangan lisan melainkan pesan via WhatsApp dari orang damkar? Maka fotonya pun sama.

Dari sisi deskripsi, umumnya lem super itu dalam tube, plothothan, mirip salep, bukan dalam botol. Itulah perlunya mengecek. Bila perlu menanya Pak Agung yang kena lem.

Tahap berikutnya kenapa editor meloloskan? Soal target sekian berita per hari, ditambah views, membuat awak redaksi maunya serbacepat.

Kalau penerbit mau, bisa memerintahkan orang AI untuk menyetel robot agar menahan tulisan yang tak jelas dari sisi 5W+1H, termasuk dari sisi ejaan.
🙏

Editor sering pusing mengurus berita mentah dari lapangan, terutama dari kontributor atau koresponden. Orang-orang di lapangan mengeluh, Tuan Editor tak paham kondisi lapangan berikut jalinan sosialnya yaitu saling bantu agar tak dikucilkan teman sekorps. Mereka juga mengeluh, “Bayaran kecil kok mau detail, mendalam, eksklusif”.

Seorang kontributor yang mengirim berita untuk lebih dari satu media pun mengeluh, bayaran rendah. Kenyataannya begitu karena media tak mam(p)u membayar lebih.

Kadang prihatin dengan media. Ketika terhimpun sebagai network yang menasional, kekuatan sebagai media daerah malah luntur.

Maaf kalau saya sotoy. 🙏🍅

junianto Sabtu 14 Januari 2023 ~ 08.22 Reply

Dalam hal berita media online, saat terjadi isi berita mirip semua, kadang penyebabnya bukan hanya cara bertutur dst seperti Paman sebut di atas tetapi mungkin juga karena sumbernya siaran pers, atau hasil copas.

Di Solo jamak terjadi, meliput ramai-ramai, lalu yang menulis satu reporter, kemudian dibagikan ke kawan-kawannya sehingga kawan-kawan tersebut tinggal meng-copas. Lantas muncul istilah naskah beritanya “dibandhemke”, kawan-kawannya “nunggu bandheman”.

Tinggalkan Balasan