Dia, eh mereka, dianggap bernilai karena ada yang mengamini. Ibarat produk karena ada konsumennya.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Agus Wiyanto Tan, seorang mualaf, menaruh Alkitab di bawah pantatnya dan mendudukinya. Dia menantang dalam nada tanya, apakah dirinya akan mati karena tindakannya itu. Aku belum mendapatkan kejelasan kapan video dibuat dan pertama kali tersiarkan.

Agus akan mati atau tetap selamat karena tindakannya?

Tak ada yang tahu apakah seseorang akan selamat atau celaka ketika melakukan olahraga ekstrem yang sangat berbahaya dengan persiapan dan perhitungan cermat. Dari sisi aktivitas fisik, menduduki sebuah buku, bukan tumpukan buku, di atas landasan yang kokoh, tidak berbahaya.

Tetapi ini Alkitab, ada persoalan simbolis, bukan sekadar barang cetakan. Memang. Semoga dia beroleh jalan terang. Dari kalangan Muslim pun banyak yang menyesalkan dan malu atas tindakannya.

Lalu di mana pangkal soal? Jika diperas, ada dua simpul. Pertama, kematangan jiwa Agus. Kedua, kematangan pendukung.

Dalam soal pertama, yakni kematangan jiwa, untuk urusan di luar iman pun seseorang bisa terus membenamkan diri dalam kenangan lama padahal sudah pindah ke kolam lain. Mau contoh?

Ada saja orang yang mengalami putus cinta, bahkan bercerai, lalu setelah memperoleh pasangan pengganti masih sibuk membahas mantan, terutama dari sisi yang menurutnya jelek — atau bahkan si mantan di matanya memang hanya berisi keburukan.

Taruh kata dia getun pernah terperosok jalan sesat karena punya pacar atau suami atau istri yang keliru, bukankah itu semua sudah dia tinggalkan dan mendapatkan pengganti?

Lalu soal kedua, yakni pendukung, pernah aku membahasnya: “Masalahnya di fans penceramah, Pakde. Iman makin tebal setelah dikasih tau agama lain emang jelek pol.”

Maka aku ulang selintas saja. Hal macam itu bisa berlaku di lingkungan pemeluk agama apapun dalam menerima orang baru. Aku sebut bisa, artinya ada peluang dengan varian ketebalan.

Lebih penting menyadarkan orang banyak ketimbang meluruskan orang macam Agus. Dia, eh mereka, dianggap bernilai karena ada yang mengamini. Ibarat produk karena ada konsumennya. Mengubah selera pasar memang bukan yang perkara mudah.

¬ Gambar praolah: Hidayatullah, Tokopedia

Menjelek-jelekkan agama lain

Kelancangan dan kengawuran Saifuddin Ibrahim

6 thoughts on “Agus Tan dalam masyarakat kita

  1. Iya Paman, berlebihan memang ndak baik, kata Simbah. BTW kayaknya malam itu aku juga berlebihan dan jadi salah ngetik deh itu 🙈 Hla aku nulis “ada larangan untuk tidak” kan itu berarti hal yang negatif + negatif, yang artinya malah jadi positif to? Wkwkwk aduuuh ngawur tenan itu. Maafkan, maksudku, ada larangan untuk berlaku dzolim, seperti yang dilakukan si Agus.

  2. Astaghfirullah. Keblinger banget si Agus. Dalam Quran jelas ada larangan untuk tidak mengutak-atik, apalagi menghinakan agama (dan kitab) agama lain lho. Bocah-bocah songong kayak si Agus ini kok makin banyak aja modelnya sekarang ini. Mungkin benar itu lantaran kian banyak lahirnya para penceramah agama yang waton muni.

    1. Mungkin ini yang disebut “mabuk agama” — istilah yang aneh, karena agama melarangnya orang bermabuk-mabuk.

      Ada juga ungkapkan aneh lainnya: “sibuk beragama sampai lupa ber-Tuhan”.

      Istilahnya ini saya kutip dari seorang kawan, dia staf khusus dari serang ulama nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *