Mata saya langsung merasakan kelegaan, seperti saat menyetir mobil telah keluar dari jalan yang menjadi pasar kaget dengan jejalan motor terparkir, ketika sampai ke halaman D koran Kompas (Jumat, 16/12/2022) pagi tadi. Tata letak halaman berilustrasi itu begitu cantik, rapi, dan artistik.
Tetapi bagi saya desain itu boros ruang untuk edisi reguler. Kalau untuk edisi Minggu dan edisi khusus bolehlah memajalah (magazinelike).
Nyeni yang fungsional adalah satu hal. Dan boros ruang adalah hal lain. Karena tak ada iklan? Tampaknya bukan lantaran itu.
Dalam versi mobile web, berita tentang perbudakan modern dalam dunia PRT, dengan taksiran baca empat menit oleh mesin editorial, ada dua foto, satu ilustrasi hitam putih karya Toto Sihono — yang mengingatkan saya pada gaya manis majalah Tempo dahulu (langgam yang dipelopori S. Prinka) — dan satu infografik. Ilustrasi sebelah tangan mengendalikan benang pembelit seorang perempuan, karya Heryunanto, tak ada dalam laman web.
Begitulah. Gaya kertas dan layar digital berupa laman web itu berbeda. Semua orang juga tahu. Editor harus memperlakukan konten sesuai karakteristik medium.
Perbedaan lain? Pull-quote atau comotan isi artikel dalam kertas itu tampak pendek, isinya berbeda dari web. Dalam versi web, selain isi comotannya berbeda, panjang teks juga berlainan, dan kebetulan di layar ponsel pas satu halaman, tak perlu scroll down.
Sebenarnya tampilan laman web, untuk desktop dan laptop maupun tablet dan ponsel, juga dapat diperkaya. Namun hal ini secara teknis lebih ribet ketimbang tata letak koran. Memang sih HTML makin pintar namun editor pun harus sadar cara mengemas konten dalam web.
Terhadap gaya bersih desain koran macam Kompas, teman saya menyebutnya gaya priayi. Dahulu, abad lalu, ketika Republika lahir, desain visualnya, sampai ke kapsi foto dan kredit penulis tampak cantik. Bikin koran lain bercermin. Sayang versi cetak koran itu bulan ini tamat.
Ciri koran priayi, menurut teman saya, secara visual rapi, tega membuang ruang, dan isinya genit sok terpelajar. Misalnya, mengutip pendapat orang yang tak diakrabi semua pembaca, padahal itu bukan artikel kolom opini. Dalam Kompas hari ini ada kutipan dari pendapat Robert David Putnam.
Ciri lainnya? Menggunakan tuturan sok tertib indah, kadang menggunakan kata yang kurang lumrah, tidak langsung ke tujuan. Mestinya, kata teman saya, ikutilah gaya media sosial. Saya tak tahu apakah dua kolom teks dalam gambar di atas termasuk gaya media priayi. Gaya priayi, kata dia, juga ada dalam media daring, “Biasanya yang baca dikit, Mas.”
Oh, ada lagi? Dia bilang media priayi itu wartawannya termasuk kelas menengah tetapi sering mengkritik gaya hidup orang yang sekaum. Mereka, kata teman saya, bisa membedah nasib buruh seolah mereka paham banget.
Sampai di sini saya kehilangan arah soal batasan media priayi. Tetapi saya menyadari satu hal: bahasan ihwal media cetak dan daring, dari konten yang sama, dari satu media, dalam blog ini sebenarnya tak relevan. Konsumen media tak peduli soal itu.
4 Comments
Teman Paman kok tidak merinci jenis pembaca koran priayi?
Dia sebut beberapa nama koran yang grafis dan isinya bagus, misalnya Koran Tempo dan Republika. Katanya, pokoknya yang artikel kolom kadang terlalu tinggi dan nggak bahas artis cerai 🙈
Eh tadi gak teliti. Pembaca? Kelas menengah tengah sampai atas, sedangkan yang menengah bawah katanya referensi tak sekaya kelas di atasnya, makanya kata dia kadang gak nyambung
👍