Dalam sebuah pertemuan warga saya lihat empat batang sigaret tanpa wadah di sudut meja. Dua berjenama Malioboro, dua lainnya 23A. Malioboro, dengan logo dan bunyi ucapan seperti Marlboro, adalah rokok berfilter. Sedangkan logo 23A mirip 234, tanpa filter, dan jika dilafalkan menjadi Dji Sam A, bukan Dji Sam Soe.
Setiba di rumah, sudah duduk santai, saya cari info tentang Malioboro dan 23A. Ternyata itu merek kertas sigaret. Berarti yang saya lihat tadi adalah rokok tingwe — singkatan linting dhéwé. Ketika saya pegang, kedua rokok itu terasa kurang padat.
Perihal aroma dua sigaret itu saya tak tahu karena saya hanya memegang, tidak membaui. Aroma tembakau dan rokok kretek itu enak justru ketika tidak dibakar — maka unsur aroma tembakau pun dilibatkan dalam wewangian pria. Adapun bau asap tembakau, apalagi bau puntung, itu menyebalkan. Ruang berbau asap rokok itu tak nyaman.
Saya tak tahu bagaimana peta pasar tingwe sekarang. Kesan saya, seiring naiknya cukai sehingga harga rokok menjadi mahal, pasar tembakau iris dalam kemasan menggeliat. Toko tembakau beraroma bermunculan. Lapaknya di lokapasar juga. Alat untuk melinting, juga selongsong rokok berfilter dan injektor tembakau, banyak dijajakan. Begitu pun flavour balls, kapsul mini berperisa mint sampai mango untuk diletuskan dalam filter rokok.
Selain itu tentu makin meriahnya beraneka merek rokok tanpa cukai — pilihan nama bisa aneh, misalnya Tirani. Muncul juga rokok legal dengan nilai cukai rendah. Harga eceran sebungkus, isinya ada yang 20 batang karena SKM berfilter, di bawah Rp10.000. Bandingkan dengan SKM berjenama kuat yang harga per bungkusnya belasan hingga likuran ribu rupiah, isinya 12-16 batang.
Lalu dalam pasar rokok ilegal ada pula barang palsu. Si pemalsu mungkin cerdik: daripada memalsu rokok resmi, apalagi milik perusahaan besar, lebih baik membajak merek yang tak dilindungi hukum. Si pemilik merek pertama takkan memperkarakan ke pengadilan. Ibarat begal tak melapor polisi jika barangnya dicuri.
Membajak merek rokok resmi murah juga aman. Pemerintah rugi, pemilik merek juga. Tetapi sejauh ini pemilik merek murah tak memperkarakan. Mereka hanya berharap Kantor Bea dan Cukai wilayah menggerebek dan membeslah rokok palsu.
Sementara perokok yang terkecoh satu slof rokok palsu hanya dapat menyumpahi penjual. Korban tak mungkin mengadu ke YLKI. Lalu orang lain, sesama budak nikotin dan terlebih kaum antitembakau, hanya mentertawai dan berucap salah sendiri.
Maka persoalan cukai bisa dilihat sebagai kegagalan pemerintah mengerem konsumsi rokok sambil menambah penerimaan negara di luar pajak.
¬ Bukan posting berbayar maupun titipan pemerintah, kaum protembakau, dan kubu antitembakau
2 Comments
Saya, yang antirokok, senang jika perokok tingwe maupun bukan tingwe berkurang.
Bravo! 👍💐