Meski dipepet regulasi pengasapan dan kenaikan cukai, kultur pertembakauan masih jauh untuk menjadi sejarah yang tutup buku.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Tembakau tingwe Javaanse Jongens dari Belanda yang kurang populer di Indonesia

Judul itu di atas beraroma asumsi nan spekulatif. Belum tentu para pecinta sigaret kretek, dengan ramuan cengkih dan saus, akan telaten melinting tembakau rajangan seperti kakeknya bahkan buyutnya. Memang ada alat pelinting tapi tidak praktis dibawa bepergian. Apalagi jika ditambahi wur dan klembak menyan.

Di Eropa dan Australia, mungkin juga Amerika, setelah cukai rokok dikerek terus, para budak nikotin dengan asap memilih tingwe. Misalnya teman saya di Jerman. Di Jakarta, dulu beberapa sejawat memakai tingwe, ada juga yang pakai cangklong, tapi hanya selingan. Setelah itu kembali ke rokok buatan pabrik. Serupa rokok elektrik apapun jenisnya.

Saya sendiri tak tahu apakah yang akan terjadi di pasar. Apakah orang akan mengurangi konsumsi rokok favorit ataukah menyesuaikan diri dengan rokok lain yang lebih lebih murah, termasuk merek baru?

Saya juga tak paham benar tentang kelas harga dan produksi rokok yang berhubungan dengan cukai dalam ranah gaya hidup konsumen. Narablog pereviu rokok lebih paham petanya.

Kalau melihat sekilas nasib rokok kretek filter Blitz sebetulnya menarik. Kata orang warung, rokok ini diminati saat ekonomi loyo akibat pandemi, begitu juga rokok putih Marlboro Crafted tanpa filter, isi 12 batang, dengan harga sama.

Harga sebungkus Blitz Rp10.000 – Rp11.000 — kalau satu slof isi sepuluh bungkus Rp90.000. Isi setiap bungkus 20 batang, bukan 12 maupun 16 batang. Dengan isi 20 batang, LA Bold dari Djarum harganya Rp28.000 – Rp30.000 per bungkus — tiga kali lebih mahal daripada Blitz. Mulai Januari 2022, semua harga itu naik rata-rata 12 persen.

Rokok kretek filter SKM Blitz Bayi Kembar nan murah

Kesan saya, Blitz ini populer. Maka rokok bikinan PT Bayi Kembar itu pun dipalsukan. Sebagai barang palsu, tentu tak butuh beli pita cukai. Maka komplitlah si produk tiruan itu: ya palsu, ya ilegal.

Apakah nanti rokok ilegal akan merajalela, seperti miras ilegal zaman Al Capone di Amrik dulu? Entah.

Sejauh ini, kesan saya tanpa bekal data, umumnya orang berhenti mengasap karena alasan kesehatan. Bisa karena disuruh dokter, didukung keluarga, dan bisa juga karena ingin berhenti sendiri, bukan karena harga. Malah dulu ada seorang lansia di Semarang, Jateng, yang setiap tahun baru menjadi resolusi tak merokok setahun. Lalu tahun baru berikutnya memesrai tembakau lagi untuk setahun.

Saya tak tahu mana kemungkinan paling kuat: [1] berhenti merokok, [2] mengurangi konsumsi, atau [3] ganti merek yang lebih murah, termasuk rokok ilegal.

Kemungkinan kedua, mengurangi konsumsi, akan dipermudah selama ada warung kecil penjual ketengan. Atau ada anak cleaning service atau OB yang melayani penjualan ketengan dari kantong bajunya, tapi tidak untuk banyak merek. Bahkan pengasong pun hanya mengetengkan merek yang populer di kalangan sopir angkot.

Tembakau Javaanse Jongens dan aneka artefak rokok

Dalam penerawangan saya, kultur rokok belum akan tamat dalam jangka pendek, padahal ada regulasi pengasapan dan penaikan cukai. Pemerintah juga paham, maka targetnya adalah mengerem perokok baru dari kaum muda.

Artinya rokok sebagai sejarah kekonyolan manusia melakukan hal tidak sehat belum akan tutup buku. Belum semua artefak pengasapan — tak hanya rokok tetapi bisa juga kertas sigaret (memang, papier juga untuk lainnya yang jadi urusan BNN) dan korek api — naik harga karena barangnya masih hadir.

¬ Bukan posting berbayar maupun titipan pihak pro maupun antitembakau

2 thoughts on “Rokok naik harga, tingwe bertambah pemuja?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *