Entahlah kenapa petai, atau pete, menimbulkan kecanggungan, padahal bukan barang haram. Pernah tiga teman cewek saya berkisah, suatu kali mengudap dan menggunakan sandi, “Kita harus ditemenin Pete.” Nama orang yang dilafalkan “pit”, kependekan dari Peter, itu disebut karena mereka malu. Ketika memesan melalui pramusaji pun dengan berbisik.
Saya tanya kenapa harus begitu, salah seorang menjawab melipir secara cerdas, kalau bilang peter nanti jorok. Hmmm, “peter” dengan “p” kecil adalah slang vulgar untuk burungnya pria. Ya, serupa dick, dengan “d” kecil, yang pernah saya blogkan karena robot penerjemah AliExpress mengartikannya penis dalam bahasa sehari-hari.
Yang pasti banyak orang doyan bahkan sangat suka petai. Doyan itu dalam bahasa Jawa mau, tak menolak. Bukan keranjingan. Maka panen berapa pun petai selalu laku. Data dalam foto di atas saya comot dari DataIndonesia.id yang mengambil dari BPS. Sedangkan sematan data provinsi penghasil petai, juga dari BPS, dikemas oleh Katadata.
Isu petai ini menarik. Maka media mengangkat warta pesohor yang doyan petai. Tepatnya pesohor perempuan. Artinya pesohor pria doyan petai, bahkan jengkol, itu tak layak berita. Tak perlu kita teliti mengapa begitu. Cukup terima jadi saja.
Dalam konteks tertentu, petai adalah sebuah kontradiksi: cantik kok suka petai. Dalam pasal suka terkandung dugaan tentang bau mulut dan urine berikut pintunya.
Emisi bau menguar itu membuat seorang perempuan muda harus berpantang petai saat pasangannya akan pulang dari dinas di luar pulau, “Kalo yang di situ bau pete kan ngerusak mood.”
Oh, mood berkorelasi dengan êmut, kata perempuan temannya. Saya kurang paham.
Dalam pembingkaian kontradiktif, petai menjadi beraroma komedi ketika ditempatkan dalam posisi sosial ekonomis: juragan. Ternyata SCTV pernah menayangkan dua sinetron bertema petai.
Mungkin juragan petai dianggap lucu sekaligus tak sekeren juragan kopi susu pesan antar via aplikasi ponsel. Padahal bisa saja duitnya lebih gede daripada juragan perusahaan wedang kopi rintisan yang belum diangkut dalam inkubator investor.
Karena menyangkut aroma yang gimana gitu, sebagai ekses petairia, konten ihwal menghilangkan bau jejak petai, juga jengkol, selalu terdaur ulang.
Bagaimana dengan orang asing? Menurut Chef Ragil, “Sudah banyak wisatawan asing yang mulai mengapresiasi petai.” (¬ CNN Indonesia)
Hal itu disertai catatan: petai diterima penuh oleh wisatawan asal Asia. Wisatawan Eropa dan Amerika masih belum banyak yang suka petai.
Akhirulkalam, apakah saya doyan petai, juga jengkol? Tidak. Belum. Tetapi saya bisa menerima hidangan yang ada petainya, lalu si biji hijau untuk saya biarkan tertinggal di piring.
2 Comments
Saya tidak doyan pete, dan — seperti Paman — kalau dapat sayur yang ada petainya ya saya biarkan/tinggalkan di piring. Istri kadang-kadang (jarang-jarang) makan pete, dan sehabis makan pete dia pasti mesem saat saya bilang kok bau di kamar mandi lebih “wangi” daripada biasanya.😁
BTW judul mengingatkan saya kepada Pete Townshend.
Pete Townshend. Saya tadi waktu nulis juga inget itu.
Mari belajar menyukai petai 🤣