↻ Lama baca < 1 menit ↬

Tak ada yang sudi memungut koin Rp100 di jalan

Sudah tiga hari koin Rp100 itu tergeletak di jalan di depan rumah saya. Saya memang membiarkan. Siapa tahu ada yang mengambil. Ternyata sampai pagi tadi, saat saya menyapu, si koin tetap di sana. Lalu koin saya letakkan di atas bak sampah.

Tak ada yang sudi memungut koin Rp100 di jalan

Barusan, saat saya mengetik paragraf pertama dengan ponsel, terdengar suara buka-tutup sampah. Saya lirik dari teras ada pemulung. Lalu saya intip dari celah pagar, koin masih merebah manis tanpa menggoda.

Tak ada yang sudi memungut koin Rp100 di jalan

Uang Rp100 sudah tak berharga. Dengan transaksi nirtunai, toko dan kedai tak direpoti koin. Biaya produksi koin cepek pun mungkin melebihi nilai intrinsiknya sebagai benda logam.

Tak ada yang sudi memungut koin Rp100 di jalan

Oh ya, tentang cepek, yang diserap dari bahasa Hokkian, saya teringat mode 1980-1990-an, saat banyak jip memasang stiker Dick Cepek, tanpa keterangan itu produk apa. Bahkan angkot pun menempelkannya. Saya tanya ke sopir sekaligus pemilik angkot ke Cililitan, Jaktim, Dick Cepek itu apa.

“Nggak tau Mas. Tapi kayaknya keren. Kita kan juga nyari duit cepek demi cepek, saben ari capek,” katanya.

Oke deh, Dick. Eh, kenapa ya dick dalam slang Inggris bisa berarti lain? Ketika saya mencari stiker Dick Cepek malah ada temuan ajaib. Lokapasar asing, karena menggunakan robot penerjemah, bisa mengartikan dick sebagai penis dalam istilah keseharian bahasa Indonesia.

Dick Cepek oleh robot penerjemah menjadi k*nt*l cepek

Koin dua ratusan rupiah sebagai ucapan terima kasih

Mengenang Koin Keadilan

Jadi, Koin ini untuk Apa?

Koin Nganggur untuk Beli Tas Keresek

Penukaran koin cepek