Kalau memang cinta sanggupkan dirimu untuk merawat. Ah, aku tak pernah katakan cinta, hanya suka.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Daun yang terbakar oleh paparan langsung sinar matahari

Rumah saya menghadap ke selatan. Bulan ini mentari di selatan khatulistiwa, dan nanti Natal di Australia adalah saat musim panas. Lalu selama sang surya di garis edar selatan, halaman mungil saya pun disapa cahayanya.

Daun yang terbakar oleh paparan langsung sinar matahari

Saya amati selama ini, bahkan ketika matahari memunggungi rumah saya, sehingga halaman depan teras selalu teduh, hampir semua tanaman menjulurkan batang dan daun, seperti leher manusia, untuk mendapatkan cahaya di luar sisi yang diteduhi atap.

Mereka ingin berada dalam udara dengan kelembapan pas namun mendapatkan cahaya tak langsung, dan tentu siraman air yang cukup karena daun lebar mempercepat penguapan.

Merepotkan? Mungkin. Kalau mereka bisa berbicara mungkin akan mengatakan siapa suruh bawa kami ke rumahmu.

Daun yang terbakar oleh paparan langsung sinar matahari

Kini setelah sang baskara terus ke selatan, paparan cahaya langsung pun, jika tak ditabiri mendung, langsung menyapa dengan sengatan. Banyak daun yang terbakar bahkan lukanya mbenyènyèk, ibarat luka basah di kulit manusia. Ada juga yang meninggalkan lubang.

Siapa suruh bawa kami, kata mereka. Mestinya kalian yang menyesuaikan diri dengan syarat kehidupan kami, bukan sebaliknya.

Daun yang terbakar oleh paparan langsung sinar matahari

Misalnya satwa piaraan bisa berkata-kata, ucapan mereka pun serupa tanaman.

Bisik hati berucap, “Kalau memang cinta sanggupkan dirimu untuk merawat.” Bisik syaiton memanaskan pembenar, “Aku tak pernah berikrar cinta, hanya suka, itupun kadang kala.”

Oh manusia, makhluk tertinggi di alam semesta.

Daun yang terbakar oleh paparan langsung sinar matahari

6 thoughts on “Julurkan badan demi cinta tapi terbakar Mas Surya

      1. Dulu saya pernah pinjam Mio beliau. Waktu lewat depan cermin jendela gedung saya menengok, kok spt beruang naik sepeda sirkus. Mungkin karena terpiuh cermin. Satpamwan meledek, “Mas, kurang cocok! Motornya kekecilan!”

        Di kampung Kemandoran, motor nggadhug poldur terus. Waktu itu saya mau ke Palmerah, dari Kebonjeruk, lewat kampung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *