Cara kita menjuluki pihak lain, pribadi maupun kelompok, kadang mencerminkan cara pandang kita.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Terserah mau dinamai apa terserah Ndoro Tuan dan Ndoro Nyonya

Pada dinding bak sampah ada dua tumbuhan. Yang berdaun panjang setahu saya berjenis paku-pakuan yang tumbuh dengan berspora. Sedangkan yang berdaun oval entahlah, saya menganggapnya sebagai tanaman liar yang berdaya tahan tinggi, sudah saya blogkan Agustus lalu.

Bekal pengetahuan botanis saya memang cekak. Yang ada di benak adalah endapan pelajaran biologi di SD dan SMP, karena pada semester kedua kelas satu SMA saya masuk IPS. Menggunakan mikroskop dan membedah katak di atas kotak lilin hanya saya alami pada kelas enam SD.

Terserah mau dinamai apa terserah Ndoro Tuan dan Ndoro Nyonya

Terserah mau dinamai apa terserah Ndoro Tuan dan Ndoro Nyonya

Persoalan identifikasi botanis tak saya buihkan di sini. Intinya, pengenalan nama tumbuhan itu sulit, namun saya percaya kecerdasan buatan akan terus belajar, lebih rajin dari pengelak PR di sekolah. Maka pengenalan awal oleh aplikasi bisa saja meleset. Misalnya salah, Anda dapat mengoreksi.

Terserah mau dinamai apa terserah Ndoro Tuan dan Ndoro Nyonya

Ada hal yang menarik dari hasil terkaan aplikasi PictureThis terhadap tumbuhan berdaun oval. Terdapat sebutan tree of heaven dan ada pula tree of hell untuk tumbuhan yang sama.

Ada pohon surga dan pohon neraka. Nah, ini seperti kehidupan sosial. Nilai positif maupun negatif dalam sebuah julukan adalah cerminan cara kita melihat si sosok.

Seseorang dijuluki Edi Songong dan Nita Ragi (Ratu Gibah) karena persepsi orang lain, akibat promosi oleh orang tertentu, kadang atas nama bercanda, memang demikian. Ada pembingkaian.

Demikian pula sebutan Si Ganteng dan Si Cantik namun hal ini positif karena merupakan afirmasi. Namun ketika Om Ganteng adalah klaim diri seorang politikus dalam media sosial, pihak lawan mengejeknya padahal tak dirugikan oleh klaim sepihak itu.

Dalam politik, penamaan negatif terhadap pihak lain yang tak disukai, bahkan dimusuhi, sering dilakukan. Misalnya kadrun, salibis, cebong, kampret, Aseng, nonpri, Wan Abud, dan PKI. Begitu pun mungkin gelar bapak politik identitas.

Lalu bagaimana dengan KKB (kelompok kriminal bersenjata) dan dahulu GPK (gerombolan pengacau keamanan) serta OTB (organisasi tanpa bentuk), apakah mereka tak punya nama diri?

Pada masa Orde Baru, media diharuskan mengikuti penamaan versi pemerintah, terutama oleh militer, terhadap pihak yang diposisikan sebagai lawan. Menyebut nama berarti mengakui eksistensi pihak lain.

Di luar urusan politik dan permusuhan, soal julukan ini bisa awet melekat bahkan abadi. Anak dengan julukan yang sebenarnya tak dia sukai, namun karena bersekolah TK hingga SMA di kompleks yang sama, di bawah yayasan yang sama, sampai dia punya anak pun julukan itu tetap menjadi identitasnya.

Dengan latar itu pula seseorang yang bisa keluar dari lingkungan, misalnya sekolah dan kota asal, bisa mengganti nama panggilan diri. Lantas kawan lama yang sirik pun tak terima, “Halah dulu panggilannya Sinden, setelah di Jakarta jadi Cindy.”

Apakah tidak boleh seseorang mengganti atau menciptakan nama panggilan bagi diri sendiri?

Di dunia penulisan hal itu biasa, ada nama pena — misalnya, nama pena Seno Gumira Ajidarma dahulu, sejak SMA, adalah Mira Sato. Demikian pula dalam bisnis hiburan. Agnes Monica melakukan rebranding sebagai Agnezmo juga boleh, kan? Nama Jokowi tercipta setelah dia tua, diberikan oleh seorang pengimpor mebel dari Prancis.

Sekian tahun silam seorang cewek kelas enam SD, setelah membaca terjemahan Life of Pi (Yann Martel) mengikuti usul ayahnya agar setelah masuk SMP dia mengikuti Piscine Molitor Patel yang di sekolah baru memperkenalkan nama diri yang dia sukai, dari Pissing menjadi Pi.

Nama panggilan baru di gadis telah menjadi jenama diri seorang perempuan dewasa hingga kini. Padahal tak yang buruk dari nama panggilan nama yang dipakai keluarga dan teman maupun guru di TK dan SD.

Supaya tak berbelok jauh, panggillah nama orang lain sesuai namanya atau yang dia inginkan, dengan catatan kita tak mengenal segara pribadi. Misalnya saat menyapa satpamwan dan petugas bengkel, pun petugas CS bank, bacalah nama di dada atau mejanya. Begitulah pun dahulu terhadap petugas loket karcis jalan tol sebelum pemberlakuan pembayaran elektronik.

Orang senang jika namanya diakui.

Liar, liat, tak mudah sekarat apalagi mokat

Mengidentifikasi bunga terpasang pada vas

3 thoughts on “Pohon surga atau pohon neraka terserah Anda

  1. Saya rutin ke kantor BCA tak jauh dari rumah tiap Senin pagi, dan selalu disapa satpam yang menyebut nama saya dengan suara keras. BCA memakai prinsip seperti yang disebut Paman, orang senang jika namanya diakui.

    Saya juga senang. Bahkan pun saat satpam salah menyebut nama saya ketika saya hendak meninggalkan kantor BCA tersebut setelah selesai bertransaksi, Senin pagi tadi. “Terima kasih, Pak Yudi, hati-hati di jalan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *