Medsos bisa menempatkan epilepsi secara pas agar stigma terhadap orangnya bisa luntur.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Kesalahkaprahan dalam kasus epilepsi

Kamso lega setelah mendapatkan pemutakhiran info dari istrinya bahwa Putri dan gadis kecilnya tak cedera serius. Tadi pagi ibu dan anak itu terjatuh dari motor, padahal Putri yang pegang setang, karena sang ibu terserang epilepsi, lalu kejang.

“Epilepsi bisa sembuh nggak sih, Mas? Kan penyakit keturunan?” tanya Kamsi.

“Pada umumnya setahuku bisa sembuh kalo ditangani dokter secara kontinu. Faktor genetik hanya salah satu sebab. Bisa juga karena cedera otak,” sahut Kamso.

Lalu mereka pun memperbincangkan zaman gelap saat mereka bocah hingga remaja, ada stigma untuk orang yang hidup dengan epilepsi. Misalnya sebagai penyakit menular. Belum lagi olok-olok terhadap orang ayan. Maka epilepsi kadang dijadikan lelucon di atas panggung.

“Edukasi soal itu kalo dulu juga kurang sih, Mas. Lha kita sebagai anak-anak kan cuma niru,” kata Kamsi.

“Aku waktu SD sampe sempat terpengaruh soal stigma. Ada untungnya lingkungan ngasih pencerahan. Makanya setelah aku dewasa lantas muncul istilah autis buat orang yang diem karena lagi asyik sama alatnya, aku nggak setuju.”

“Lagi-lagi soal edukasi, Mas. Tapi untuk isu autisme kan akhirnya semua orang sadar. Ada medsos yang mengoreksi kesalahpahaman. ”

¬ Gambar praolah: rawpixel.com di Freepik

¬ Pertolongan pertama pasien Epilepsi (Hello sehat dan Halodoc)

¬ Epilepsi dan berenang (Hellosehat)

¬ Mitos dan fakta epilepsi (Kementerian Kesehatan)

¬ Mengenal gejala epilepsi (Kementerian Kesehatan dan Alodokter)

¬ Pedoman Perdosi untuk dokter umum dalam menangani epilepsi (Perpustakaan Nasional)

Pasien belum boleh pulang tak selamanya lucu

2 thoughts on “Epilepsi, persepsi, dan stigma

  1. Tulisan Mas singkat semua tapi saya sering harus beberapa kali bacanya karena ada hint filosofisnya segala 😅.

    One of the perks living in social media era, jadi menambah banyak wawasan. Tapi di sisi lain, dengan banyaknya arus informasi yang tak terfilter, bisa bikin bingung bin pusing. Harus ‘pegangan’ biar ga terombang-ambing.

    1. Dear Mbak Uril,
      Terima kasih untuk catatan soal tulisan ringkas itu. Saya jadikan sebagaimana masukan. But I never consider myself to make a hint of philosophical matters because I don’t know about that 🙏

      BTW era media sosial memang berisi banjir informasi, ada saja info menyesatkan. Kita, tepatnya saya, bisa menjadi korban dan saat yang lain mungkin menjadi penyesat. 🙏🙈

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *