Hari ini, tiga tahun lalu, adalah hari terakhirku sebagai karyawan di sana. Menurut surat perklaring aku bekerja selama 1 Mei 2015 hingga 19 Oktober 2019. Empat tahun lima bulan.
Namun sebenarnya hari itu, Senin, adalah peresmian administratif, menandatangani surat perpisahan dan angka pesangon. Maka dalam foto bersama ada wajah ceria. Wajah-wajah muram maupun masam, dan rasa tak enak hati antarkaryawan, termasuk di kalangan orang yang masih tinggal, plus beberapa mahasiswa magang yang bingung karena tiba-tiba kehilangan pembimbing, menguar pada Jumat, 18 Oktober 2019. Sabtu dan Minggu esoknya libur. Ada jeda untuk menenangkan diri.
Aku menyampaikan kabar tak enak kepada istri dan kedua anakku pada hari Minggu saat makan siang di sebuah resto. Sabtu aku masih di tempat karena aku sebagai setengah doktor — mondok di kantor —menginap di sana, untuk terakhir kali.
Aku ingat, Jumat itu beberapa sejawat yang akan tetap dalam kapal menunggu aku tampak santai, dan sedang sendiri, di meja kerja maupun ruang pengasapan, untuk menyatakan simpati. Mereka tak banyak kata, hanya mata berkaca-kaca saat memelukku. Ada pula yang sampai terisak, aku yang harus menenangkan supaya aku tak larut dalam tangis. Hubungan kami bukan sekadar antarrekan yang kebetulan satu juragan. Ada pertautan semangat, cita-cita, harapan, dan mungkin impian.
Apa sih arti pekerjaan? Bagiku bukan sekadar mencari nafkah tetapi juga pencarian diri, di dalamnya ada aktualisasi dan kehidupan sosial.
Tempat kerja, jika kita menyukainya, adalah rumah kedua. Sebagian waktuku ada di sana. Membaca kertas dan layar, menulis, mendengarkan musik dari mini-amp tersembunyi diapit buku dengan sepasang sepiker monitor kecil dan satu subwoofer di kolong meja, mengurusi sekian karaf ikan cupang dan tiga tanaman dalam vas untuk meja dan rak, bahkan berjalan pagi atau malam ke Monas pun bertolak dari dan kembali ke kantor itu.
Tiga tahun berlalu ternyata singkat. Apalagi disela oleh pandemi sejak awal 2020.
Aku mencoba mengingat siapa saja yang pernah bersamaku di sana. Ternyata sulit. Lebih dari lima puluh orang, yang aku kenal setelah bekerja bareng seatap, tak mudah aku ingat. Bekas sejawat yang lebih muda dari aku pun mungkin sulit mengingat semua rekan sekerja, apalagi jika jarang berinteraksi karena beda bagian.
Pekerjaan adalah bagian dari episode perjalanan manusia. Jika menyangkut pekerjaan kolektif ada sekian faset sisi kehidupan. Aku bersyukur kenanganku di sana baik. Terima kasihku untuk semua orang.
Selepas dari sana, kunci blog ini aku buka. Semua orang, kalau sudi dan sempat, dapat membacanya.
2 Comments
Seumur hidup saya dua kali pindah kerja, tanpa kisah bikin terenyuh seperti konten di atas, pun tanpa kisah heroik sekaligus bikin terenyuh seperti di konten lain saat Paman bak “kapten yang meninggalkan kapal paling terakhir” ala Kapten Francis Haddock.
Masa sih bikin terenyuh? Lha kan ceritanya biasa saja. 🙏