Gerobak sayur pun menjual bumbu sasetan. Konsumen juga tak ingin menimbun bumbu dapur.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Bumbu dapur dalam saset sudah lumrah. Bubuk lada hingga bumbu gulai tersedia. Ada di warung, minimarket, dan gerobak tukang sayur. Inilah contoh yang bagus tentang nilai tambah dalam pelajaran ekonomi di sekolah.

Menjual butiran lada, secara eceran misalnya per sendok makan (kalau ada), itu menguntungkan, tetapi ya akan begitu terus: cuma kulak kiloan lalu dilepas eceran. Berbeda dengan ilmu gula saset: tak perlu punya pabrik gula, seperti PT Samudra Montaz, tetapi selama puluhan tahun memasok gula saset untuk kedai. Hal serupa mereka lakukan untuk garam meja hingga tusuk gigi.

Tentu, kebutuhan industrial semacam hotel dan jaringan kedai serta katering itu berbeda dari rumah tangga. Ibu dan bapak rumah tangga maupun rumah tetangga tak memerlukan gula saset seperti anak kos dan pegawai kantor. Tetapi untuk bubuk dan butiran lada tak perlu menyetok banyak. Begitu pun bumbu siap pakai untuk nasi goreng hingga rawon — di luar debat soal rasa dan seni perdapuran (“kuliner” berhulu ke bahasa Latin “culina” artinya dapur) .

Ekonomi saset bukan dari produsen di hulu — seperti produsen gula pasir yang punya perkebunan tebu tetapi juga bikin gula sasetan — telah menciptakan mata rantai nan panjang.

Apakah penguasa mata rantai nilai tambah hanya perusahaan besar? Setahu saya tidak. Di warung juga ada bumbu mentah praolah tanpa jenama, dalam kemasan plastik bening, misalnya lada dan buah kemiri.

Oh ya, contoh lain paling mudah dan kita akrabi adalah minuman kopi, termasuk yang hanya melayani pesan antar. Ada mata rantai dan nilai tambah di dalamnya.

Paket bumbu siap terap: siapa meniru siapa?

Penjual punya sambal, masih menambahkan sambal pabrik

Gula sasetan generik selama pandemi

Es kopi dalam saset

Dari desa dengan cinta, via pabrik entah di mana

Sejak kapan Indonesia akrab dengan chef?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *