Buku tipis apapun, sepanjang punggungnya masih bisa memuat teks judul, sebaiknya ditulisi, sehingga ketika ditumpuk maupun dijejerkan berdiri kita mudah menemukannya. Di rak buku saya ada banyak yang begitu. Tadi saya temukan dua buku tanpa punggung bertajuk. Lalu saya tarik keluar. Ternyata kotak kartu ucapan. Nah, kotak yang kedua untuk posting terpisah nanti.
Mari mulai dari kotak pertama. Saya memperolehnya di mal, lebih dari sepuluh tahun silam, membeli dari lapak Sampoerna Foundation.
Tersebutkan pada punggung kartu, “Every five minutes ten Indonesian children will drop out of school (Source: 2004/2005 National Education Department).”
Isi kotak delapan buah kartu dengan empat gambar. Bingung? Setiap gambar punya kembaran selembar. Maka kalau empat gambar menjadi delapan kartu.
Format kartu ada yang horizontal, ada yang vertikal. Amplopnya, yang sudah menguning, dari kertas kalkir yang direkatkan dengan selotip bolak-balik, mengikuti arah kartu. Pintu amplop landscape lebih panjang daripada amplop portrait.
Kenapa kartu ini tak saya kirimkan kepada orang lain? Pertama: tak sempat. Kedua: kotak kartunya terselip. Ketiga: dahulu saya memang agak kerap membeli kartu, namun ponsel kemudian menggantikan kartu fisik, padahal kartu jeluang (Jawa: dluwang) lebih personal dengan tulisan tangan.
Kini untuk penggalangan dana dengan menjual karya seni mungkin lebih sip melalui jalur NFT. Adapun kartu beramplop yang sering Anda terima adalah undangan pesta pernikahan.
4 Comments
Jeluang….
Lho ada apa, eh kenapa?
Lagi-lagi, baru saya tahu.
#malu
Lho?
Dulu Unicef juga bikin, ada kartu kaus, dsb.
Kalo gak salah Greenpeace juga.
Saya pernah bikin kartu dan poster untuk kampanye koalisi LSM menentang perkawinan anak.